Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Minggu, 31 Mei 2015

PEMALSUAN Merk



Dalam penerapan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) sendiri, hanya dikenal istilah barang palsu untuk menyebut barang-barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan dengan menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain. Ancaman pidana bagi produsen barang palsu tersebut adalah pidana penjara paling lama  5 (lima) tahun dan/atau  denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 90 dan Pasal 91 UU Merek).
 
Selain dapat menjerat pihak-pihak yang beriktikad buruk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang palsu, UU Merek juga dapat dipergunakan untuk menjerat pihak-pihak yang memperdagangkan barang yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 tersebut di atas. Pidananya berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (Pasal 94 UU Merek).
 
Sanksi hukum dalam UU Merek yang saat ini berlaku memang tidak menjangkau konsumen pembeli barang palsu. Secara eksplisit UU Merek juga menyebut seluruh tindak pidana penggunaan merek terdaftar oleh para pihak beriktikad buruk tersebut sebagai ‘Pelanggaran’, bukan ‘Kejahatan’ (lihat Pasal 94 ayat [2] dan Pasal 77 UU Merek).
 
Pemalsuan Merek merupakan Delik Aduan
Dan secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan setelah adanya laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait delik aduan pun penyidikan kepolisian dapat dihentikan hanya dengan adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum diperiksa di pengadilan.
 
Dalam menilai sebuah barang merupakan barang palsu atau bukan di mata hukum pun polisi tidak dapat melakukannya secara sepihak. Dalam sistem perlindungan hak merek yang saat ini dianut oleh Indonesia, yakni sistem First to file, ‘pelanggaran merek’ hanya terjadi apabila ada tindakan-tindakan penggunaan merek terdaftar oleh pihak-pihak beriktikad buruk yang dilakukan dalam masa perlindungan atas merek yang bersangkutan sebagaimana tertera dalam sertifikat pendaftaran mereknya. Tidak ada pelanggaran tanpa pendaftaran merek karena dalam sistem First to file, perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemilik pendaftaran merek. Pelapor harus mampu menunjukkan sertifikat merek atau alas hak lainnya yang sah pada saat melakukan pelaporan atas suatu tindak pidana merek.
 
Selain harus mampu menunjukkan bukti kepemilikan merek yang sah, si pelapor harus mampu menunjukkan kepada kepolisian perbedaan-perbedaan antara barang asli dan barang palsu secara jelas. Hal ini tentu saja untuk menghindari penegak hukum melakukan kekeliruan dalam menangkap dan memproses pidana para pelaku pelanggaran merek.
 


 
 
Dasar hukum:      Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar