Kenapa jaminan Fidusia harus didaftarkan dan apa saja implikasi hukumnya bilamana tidak didaftarkan ?
Berikut kita ulas bersama:
Saat
ini maraknya lembaga pembiayaan (Finance) yang menyelenggarakan
pembiayaan bagi konsumen (consumer finance) . Lembaga Pembiayaan
tersebut menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen salah satunya
berupa kendaraan bermotor . tidak sedikit perusahaan-perusahaan lembaga
pembiayaan yang menawarkan segala bentuk promosinya baik dalam bentuk
hadiah langsung yang bisa dibawa maupun dengan uang muka yang sangat
rendah demi untuk mendapatkan konsumen. Bahkan mereka menawarkan bonus
yang tinggi bagi yang bisa membawa konsumen untuk membeli kendaraan
melalui lembaga pembiayaan tersebut. Dan dasar dari lembaga Pembiayaan
dalam melakukan transaksi dengan konsumennya adalah dengan menggunakan
perjanjian secara tertulis yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi
objek benda jaminan fidusia.
Perjanjian
fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang
dalam hal ini Perusahaan Pembiayaan kepada konsumen yang mengikutkan
adanya jaminan. Dan Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan
perusahaan Pembiayaan.
Pada
umumnya perusahaan atau lembaga pembiayaan didalam melaksanakan
penjualan atas barang bergerak tersebut kepada konsumen dengan
menggunakan perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi
objek benda jaminan fidusia berupa Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor
(BPKB), akan tetapi ternyata dalam prakteknya banyak dari perjanjian
yang dibuat oleh perusahaan tersebut tidak dibuat dalam Akta Notariil
(Akta Notaris) dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat Akta yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” walaupun
secara tertulis lembaga pembiayaan tersebut dalam melakukan perjanjian
pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia
berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
Pasal 15 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia : “Dalam
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dicantumkan kata-kata "DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA".
Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia : “Sertifikat
Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.”
Pasal 15 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia : “Apabila
debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Melihat
ketentuan diatas sebenarnya jika kreditur dalam hal ini Perusahaan
Pembiayaan tersebut membuat Perjanjian ke dalam Akta Notariil (Akta
Notaris) dan didaftarkan di Kantor
Pendaftaran Fidusia maka akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang
memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Yang Dengan sertifikat jaminan fidusia itulah kreditur/penerima fidusia
secara serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie)
tanpa memerlukan putusan Pengadilan karena Kekuatan hukum sertifikat
tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Setelah
mengetahui dasar dan ketentuan tersebut diatas , akibat hukum dari
perjanjian Fidusia yang dibuat tanpa menggunakan bentuk Akta Notariil
dan tidak didaftarkan, maka Perjanjian dengan jaminan Fidusia tersebut
hanyalah berupa Akta dibawah tangan yang tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial untuk mengeksekusi langsung barang yang ada dalam
penguasaan konsumen.
permasalahan
yang muncul adalah ketika konsumen tidak membayar angsuran dalam
beberapa waktu tertentu atau tidak melunasinya maka Pihak Perusahaan
Pembiayaan tidak dapat secara serta merta mengeksekusi secara langsung.
Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata
ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara perdata hingga putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dan hal itu memerlukan waktu yang
lama. Padahal Faktanya Ada dari beberapa diantara konsumen memang
benar-benar melakukan pembayaran sampai dengan lunas namun ada juga konsumen yang tidak bisa melunasinya.
Pada
Prakteknya dalam mengatasi permasalahan yang timbul seperti tersebut
diatas , perusahaan pembiayaan biasanya menggunakan jasa Debt Collector
(DC)/Tukang Tagih untuk mengambil baik secara paksa maupun secara
baik-baik kendaraan dari tangan konsumen yang tidak melunasi
kewajibannya membayar hutang/ cicilan angsuran tersebut. dan kebanyakan
di lapangan para Debt Collector mengawasi tiap-tiap
kendaraan yang melintas pada ruas-ruas jalan tertentu dengan membawa
sebuah buku yang berisi nomor Kendaraan (Plat Nomor) tertentu, ketika
kendaraan yang dimaksud melintas langsung dikejar dan diberhentikan
paksa, dan pengguna kendaraan itu juga biasanya dipaksa untuk
menandatangani berita acara penyerahan kendaraannya kepada Debt
Collector tersebut. Dan menghimbau kepada pemakai kendaraan itu untuk
menyelesaikan di kantor Pembiayaan yang bersangkutan. Sebagian dari
masyarakat yang kurang memahami perbuatan melawan hukum tersebut
biasanya timbul rasa takut dan dengan terpaksa menyerahkan kendaraan
tersebut dan menandatangani berkas yang disodorkan kepadanya.
Lebih
jauhnya berdasarkan peraturan yang berlaku maka, Perbuatan para Debt
Collector yang mengatasnamakan perusahaan pembiayaan terkait dalam
mengeksekusi benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tersebut
adalah merupakan tindak pidana. Baik perusahaan Pembiayaan maupun Debt
Collector yang digunakan jasanya tidak berhak mengeksekusi barang
tersebut secara langsung tanpa adanya putusan Pengadila yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 368
KUHPidana tersebut berbunyi :
“Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.”
Menurut R. Soesilo menjelaskan pasal tersebut dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dan menamakan perbuatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
1. Memaksa orang lain;
2. Untuk
memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan
orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau
menghapuskan piutang;
3. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
4. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan
Bagi
korban dari tindakan sewenang-wenang tersebut diatas dapat langsung
melaporkan ke Kantor kepolisian Republik Indonesia terdekat.
KANTOR HUKUM BALAKRAMA
JL.Kijang 1/12A
SEMARANG
www.balakrama.blogspot.com
balakrama6999@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar