Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Rabu, 04 Februari 2015

PARATE EKSEKUSI dan Grosse Akta




                                   PENGERTIAN PARATE EKSEKUSI dan GROSSE AKTA
Parate eksekusi (parate executie) adalah pelaksanaan dari suatu perikatan dengan langsung tanpa melalui suatu vonnis pengadilan. Dalam Hukum Acara perdata Indonesia parate eksekusi atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial.
Menurut kamus hukum oleh Drs. Sudarsono, SH., M.Si, parate eksekusi ialah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian.
Parate eksekusi merupakan eksekusi langsung berdasarkan adanya grosse pada suatu akta pengakuan hutang. Dari sinilah kreditur dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan tanpa melalui proses peridangan.
Grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama tersebut diberikan kepada kreditur. Dalam buku Pedoman Tugas (Buku II) yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik yang diberikan kepada kreditur.
Menurut pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Asli akta pengakuan hutang (minut) tersebut disimpan oleh Notaris, sedangkan salinan pertama akta tersebut diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang kreditur. Dan salinan yang diberikan kepada debitur tidak memakai irah-irah seperti yang dipegang oleh kreditur tersebut.
Dalam acara perdata dijelaskan bahwa menurut pasal 258 RBg ada dua macam grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Dan yang kita bicarakan disini ialah grosse akta pengakuan hutang.
Disamping itu parate eksekusi juga berlaku bagi pemegang gadai (psl. 1155 BW). Jika debitur wanprestasi, maka pemegang gadai berhak menjual benda gadai atas kekuatan sendiri. Hak pemegang gadai untuk menjual barang gadai tanpa title eksekuturial (tanpa perlu perantara) disebut parate eksekusi. Dengan demikian pemegang menjual barang gadai seakan menjual barangnya sendiri, dan berhak mengambil pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Tetapi ketentuan psl. 1155 ini bersifat mengatur (aanvullend recht) dimana para pihak diberi kebebasan untuk memperjanjikan lain, misalnya melalui penjualan dimuka umum atau dibawah tangan. Namun demikian pemegang gadai dilarang memiliki benda gadai (psl. 1154 BW).

2. Spesifikasi Grosse Akta Pengakuan Hutang
Grosse akta pengakuan hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui grosssenya berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME yang dipegang kreditur (bank) dan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur saat peneguran membenarkan jumlah hutangnya itu.
Bentuk grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan sepihak (debitur) sebagai dokumen assesoir dengan perjanjian pokok pinjaman/kredit sebagai pokok hutang (contract of loan). Itu sebabnya, ditinjau dari segi yuridis, ikatan grosse akta (akta pengakuan hutang atau akta hipotik) adalah perjanjian “tambahan” yang bertujuan untuk memperkokoh perlindungan hukum terhadap pihak kreditur.
Ada pula menurut pasal 42 ayat 4 Peraturan Lelang menegaskan, berita acara lelang yang telah diberi bentuk sebagai grosse (memakai kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” pada bagian kepala berita acara) sama kekuatannya dengan grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang. Dengan demikian, terhadap grosse berita acara lelang berlaku ketentuan pasal 258 RBg. Sekiranya grosse berita acara lelang diberikan sebagai jaminan hutang, maka kreditur dapat meminta “executorial verkoop” ke Pengadilan Negeri, apabila pihak yang menjamin lalai membayar hutang.

3. Syarat sah grosse akta pengakuan hutang
Didalam praktek sering terjadi ketidak-seragaman penerapan tentang sahnya grosse akta pengakuan hutang berdasarkan pasal 258 RBg, disebabkan tidak adanya kesepakatan pendapat mengenai standar hukum.
Berikut ini Yahya Harahap, SH mengemukakan persyaratan yang merupakan Unifiedlegal Frame Work mengenai grosse akta pengakuan hutang.

a. Syarat Formil
1). Berbentuk akta Notaris
 bisa merupakan lanjutan atau peningkatan dari perjanjian hutang semula (dokumen pertama);
 bisa juga perjanjian hutang langsung dituangkan dalam bentuk akta Notaries.
2). Memuat Titel Eksekutorial
 lembar minut (asli) disimpan Notaris;
 grosse (salinan yg memakai irah-irah) diberikan kepada Kreditur.
Harus diingat tidak ada kewajiban hokum memberikan grosse kepada debitur, karenanya tidak diberikan kepada debitur tidak melanggar syarat formal dan tidak mengalangi parate eksekusi.

b. Syarat Materil
1). memuat rumusan Pernyataan Sepihak dari debitur :
 Pengakuan berhutang kepada Kreditur;
 dan mengaku Wajib membayar pada waktu yang ditentukan;
 dengan demikian rumusan akta Tidak Boleh memuat ketentuan perjanjian atau tidak boleh dimasukkan dan dicampurkan dengan perjanjian Hipotek (Kuasa Memasang Hipotek).
2). jumlah hutang Sudah Pasti (fixed load) tidak boleh berupa Kredit Flafon.
 jadi jumlah hutang Pasti dan Tertentu;
 berarti pada saat grosse akta dibuat, jumlah hutang Sudah Direalisir;
 jangkauan hutang yang pasti meliputi Hutang Pokok + Bunga (ganti rugi).

4. Azas Spesialitas Grosse Akta Pengakuan Hutang
Setiap grosse akta pengakuan hutang harus memenuhi azas spesialitas, dalam arti :
a. Harus menegaskan barang agunan hutang;
o tanpa menyebut barang agunan, dianggap tidak memenuhi syarat,
o dengan demikian grosse akta tadi jatuh menjadi ikatan hutang biasa,
o dan pemenuhannya tidak dapat melalui pasal 258 RBg, tapi harus gugat biasa.
b. Dan agunannya harus barang tertentu;
o bisa berupa barang bergerak,
o atau tidak bergerak.
c. Yang dapat dieksekusi berdasar pasal 258 RBg.
o hanya barang agunan saja sesuai dengan azas spesialitas,
o sekiranya Executorial Verkoop atas barang agunan Tidak Cukup memenuhi pelunasan hutang :
- tidak boleh dialihkan terhadap barang lain,
- kekurangan itu harus dituntut melalui Gugat Perdata biasa,
- hal itu sesuai dengan eksistensi grosse akta, bukan putusan pengadilan, tapi disamakan dengan putusan.

5. Parate Eksekusi seperti eksekusi biasa, dengan ketentuan :
 Harus didahului dengan somasi (peneguran);
 Dalam pelaksanaan somasi debitur harus mengakui hutangnya seperti dalam grosse akta pengakuan hutang;
 Eksekusi dilakukan dengan executorial verkoop.

6. Beberapa permasalahan dalam grosse akta
a. Karena kelicikan debitur yang mengulur waktu pelunasan hutangnya;
b. Karena kecurangan yang dilakukan kreditur, seperti tidak memasukkan permbayaran yang dilakukan debitur kedalam rekening pembukuan;
c. Karena kekeliruan pembuatan dokumen grosse akta yang menyebabkan grosse akta pengakuan hutang tidak bernilai yuridis, yang sering terjadi percampur-adukkan grosse akta pengakuan hutang dengan grosse akta hipotik;

Dalam perkembangan bisnis/ekonomi syari’ah permasalah grosse akta bukannya tidak mungkin akan muncul kasus ini yang berhubungan dengan Perbankan syariah dan eksekusinya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Selain parate eksekusi kemungkinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah eksekusi arbitrase, lembaga konsinyasi, perlawanan eksekusi grosse akta, dan lain-lain.
Disamping itu hakim dituntut memahami system kontrak syariah yang sangat menentukan setiap transaksi perbankan.
Juga yang tak kalah pentingnya ialah yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan yang memberikan hak jaminan seperti Gadai (psl 1150 BW), Hipotek Bab II BW Buku II hanya yang berlaku lagi terhadap kapal (UU No. 21/1992) dan pesawat terbabang dan helicopter (UU No. 12/1992), Hak Tanggungan (UU No. 4/1996), Fidusia (UU No. 42/1999) dan ada lagi jaminan perorangan seperti perjanjian penanggungan, perjanjian garansi dan perjajian tangung menanggung (tanggung renteng) yang bukannya tidak mungkin akan bersentuhan dengan bisnis/ekonomi syariah.
Karenanya para hakim di Pengadilan Agama setidak-tidaknya team ekonomi syariah secara rutin sebaiknya mengadakan diskusi mendalami acara masalah-masalah bisnis/ekonomi yang terkait dengan proses pengadilan.
Mudah-mudahan sengketa ekonomi syariah tetap menjadi wewenang Pengadilan dilingkunngan Peradilan Agama, Amin.


Kantor Hukum BALAKRAMA
JL.Kijang 1 No 12A SEMARANG
Telp/Fax : 024 6712094
HP         : 0813 9080 6999
Pin BBM: 2B2F2D2C
email      :balakrama6999@gmail.com

disadur dari http://johansyam.blogspot.com/2008/12/parate-eksekusigrose-akta-pengak,uan.htm
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. - See more at: http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/1#sthash.imcfPH3V.dpuf

Sejarah PERADI



Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Menurut Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Banyak pihak yang meragukan para advokat dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksud oleh undang-undang. Pada kenyataannya, dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk PERADI.

Kesepakatan untuk membentuk PERADI diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas, pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

Sebelum pada akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan. Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat yang masih aktif di Indonesia. Proses verifikasi sejalan dengan pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum yang telah diangkat saat berlakunya undang-undang tersebut dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur undang-undang. Sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi persyaratan verifikasi. Para advokat tersebut telah menjadi anggota PERADI lewat keanggotan mereka dalam delapan organisasi profesional yang tergabung dalam KKAI.

Sebagian bagian dari proses verifikasi, dibentuk pula sistem penomoran keanggotaaan advokat untuk lingkup nasional yang juga dikenal dengan Nomor Registrasi Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi juga diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Di masa lalu, KTPA diterbitkan oleh pengadilan tinggi di mana advokat yang bersangkutan berdomisili. Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 di Ruang Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Persiapan kedua adalah pembentukan Komisi Organisasi dalam rangka mempersiapkan konsep Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Kertas kerja dari Komisi Organisasi kemudian dijadikan dasar untuk menentukan bentuk dan komposisi Organisasi Advokat yang dapat diterima oleh semua pihak.

Persiapan lain yang telah dituntaskan KKAI adalah pembentukan Komisi Sertifikasi. Komisi ini mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan advokat baru. Untuk dapat diangkat menjadi advokat,  selain harus lulus Fakultas Hukum, UU Advokat mewajibkan setiap calon advokat mengikuti pendidikan khusus, magang selama dua tahun di kantor advokat, dan lulus ujian advokat yang diselenggarakan Organisasi Advokat. Peraturan untuk persyaratan di atas dipersiapkan oleh komisi ini.

Setelah pembentukannya, PERADI telah menerapkan beberapa keputusan mendasar. Pertama, PERADI telah merumuskan prosedur bagi advokat asing untuk mengajukan rekomendasi untuk bekerja di Indonesia. Kedua, PERADI telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara yang berkedudukan di Jakarta dan dalam waktu dekat akan membentuk Dewan Kehormatan tetap. Pembentukan Dewan Kehormatan di daerah lain saat ini menjadi prioritas PERADI.  Ketiga, PERADI telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI). Komisi ini bertanggung jawab seputar ketentuan pendidikan khusus bagi calon advokat serta pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat.

Baik KKAI maupun PERADI telah menyiapkan bahan-bahan dasar untuk digunakan PERADI untuk meningkatkan manajemen advokat di masa yang akan datang. Penting pula untuk dicatat bahwa hingga saat ini seluruh keputusan, termasuk keputusan untuk membentuk PERADI dan susunan badan pengurusnya, telah diambil melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan paradigma advokat Indonesia.

Meski usia PERADI masih belia, namun dengan restu dari semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi organisasi advokat yang bebas dan independen, melayani untuk melindungi kepentingan pencari keadilan, dan menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya
- See more at: http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/1#sthash.imcfPH3V.dpuf

Sejarah PERADI



Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Menurut Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Banyak pihak yang meragukan para advokat dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksud oleh undang-undang. Pada kenyataannya, dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk PERADI.

Kesepakatan untuk membentuk PERADI diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas, pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

Sebelum pada akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan. Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat yang masih aktif di Indonesia. Proses verifikasi sejalan dengan pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum yang telah diangkat saat berlakunya undang-undang tersebut dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur undang-undang. Sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi persyaratan verifikasi. Para advokat tersebut telah menjadi anggota PERADI lewat keanggotan mereka dalam delapan organisasi profesional yang tergabung dalam KKAI.

Sebagian bagian dari proses verifikasi, dibentuk pula sistem penomoran keanggotaaan advokat untuk lingkup nasional yang juga dikenal dengan Nomor Registrasi Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi juga diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Di masa lalu, KTPA diterbitkan oleh pengadilan tinggi di mana advokat yang bersangkutan berdomisili. Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 di Ruang Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Persiapan kedua adalah pembentukan Komisi Organisasi dalam rangka mempersiapkan konsep Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Kertas kerja dari Komisi Organisasi kemudian dijadikan dasar untuk menentukan bentuk dan komposisi Organisasi Advokat yang dapat diterima oleh semua pihak.

Persiapan lain yang telah dituntaskan KKAI adalah pembentukan Komisi Sertifikasi. Komisi ini mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan advokat baru. Untuk dapat diangkat menjadi advokat,  selain harus lulus Fakultas Hukum, UU Advokat mewajibkan setiap calon advokat mengikuti pendidikan khusus, magang selama dua tahun di kantor advokat, dan lulus ujian advokat yang diselenggarakan Organisasi Advokat. Peraturan untuk persyaratan di atas dipersiapkan oleh komisi ini.

Setelah pembentukannya, PERADI telah menerapkan beberapa keputusan mendasar. Pertama, PERADI telah merumuskan prosedur bagi advokat asing untuk mengajukan rekomendasi untuk bekerja di Indonesia. Kedua, PERADI telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara yang berkedudukan di Jakarta dan dalam waktu dekat akan membentuk Dewan Kehormatan tetap. Pembentukan Dewan Kehormatan di daerah lain saat ini menjadi prioritas PERADI.  Ketiga, PERADI telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI). Komisi ini bertanggung jawab seputar ketentuan pendidikan khusus bagi calon advokat serta pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat.

Baik KKAI maupun PERADI telah menyiapkan bahan-bahan dasar untuk digunakan PERADI untuk meningkatkan manajemen advokat di masa yang akan datang. Penting pula untuk dicatat bahwa hingga saat ini seluruh keputusan, termasuk keputusan untuk membentuk PERADI dan susunan badan pengurusnya, telah diambil melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan paradigma advokat Indonesia.

Meski usia PERADI masih belia, namun dengan restu dari semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi organisasi advokat yang bebas dan independen, melayani untuk melindungi kepentingan pencari keadilan, dan menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya
- See more at: http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/1#sthash.imcfPH3V.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar