Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan
sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
(2) Diancam
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. akta-akta otentik;
2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
4. talon,
tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu;
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam
dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini
adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun
ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.
Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:
1. dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
2. dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
4. surat
yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa
(misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku
harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
1. membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. memalsu
surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari
isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu
diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah
atau merubah sesuatu dari surat itu.
3. memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah).
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah:
1. pada
waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak
dipalsukan;
2. penggunaannya
harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu
kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian
itu sudah cukup;
3. yang
dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga
sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang
menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan
itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah
dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang
lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di
tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam
hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu
bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula
perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP,
bahwa tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih
berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah
surat-surat otentik. Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang
dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang,
oleh pegawai umum seperti notaris .
Sebagai contoh kasus dapat kita jumpai dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005.
Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa dengan sengaja
menggunakan surat pemberitahuan pajak tentang (SPPT) palsu atau yang
dipalsukan dengan cara mengubah
data di dalamnya. Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemalsuan surat” dan
menghukumnya dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005.
Referensi:
1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
2. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php,
sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar