Perselisihan/Sengketa Pra Yudisial
Pasal 81 KUHP yang lengkapnya berbunyi “Penundaan penuntutan pidana berhubungan dengan adanya perselisihan
prayudisial, menunda daluwarsa”. Namun temanku bilang itu kan masalah
Daluwarsa, lihat pasal sebelumnya, ah masa sih?
Setelah diperhatikan
memang Pasal 81 KUHP masih lanjutan dan satu kesatuan dengan Pasal 78, Pasal 79,
Pasal 80 KUHP, dimana maksudnya tenggang daluwarsa penuntutan tertunda atau tertangguhkan
(geschorst) apabila ada perselisihan
pra yudisial, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus
diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada
penundaan/pertangguhan (schorsing)
maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap
diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan
belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini tentunya
dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda
penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang
daluwarsa penuntutan pidana.
Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1956 (tanggal 18 Maret 1956), tidak
ada perihalnya memang tapi Perma ini jelas mengatur tentang Pra yudisial. Coba kita
lihat ketentuan dalam pasal-pasalnya sebagai berikut :
Pasal 1 Apabila pemeriksaan perkara
pidana harus diputuskan
hal adanya suatu
hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan
perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan
dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata
itu.
Pasal 2 Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana ini dapat sewaktu-waktu
dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.
Pasal
3
Pengadilan
dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat
oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang
adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi
Bahwa selain itu tentang pra
yudisial juga pernah dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 1980 Tentang Pasal 16 UU No. 14 Tahun 1970
dan "Prejudicieel Geschil" dimana tentang "Prejudicieel geschil"
disebutkan :
1. "Prejudiciel geschil" ini ada yang merupakan suatu
"question prejudicielle a I' action" dan ada yang merupakan suatu
"question prejudicielle au jugement ".
2. "Question prejudicielle a I' action" adalah mengenai
perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP (antara lain Pasal
284 KUHP).
3. Dalam hal ini diputuskan ketentuan perdata dulu sebelum
dipertimbangkan penuntutan pidana.
4. "Question prejudicielle au jugement" menyangkut
permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP; Pasal tersebut sekedar memberi
kewenangan bukan kewajiban, kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan,
menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya.
5. Diminta perhatian, bahwa andaikan Hakim hendak mempergunakan
lembaga hukum ini, Hakim Pidana ini tidak terikat pada putusan Hakim Perdata
yang bersangkutan seperti dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun
1956.
Nah sedang yurisprudensi dapat
kita lihat diantaranya dalam putusan :
Putusan Mahkamah Agung No. 413 K/Kr/1980, tanggal 26 Agustus 1980:
Pertimbangan
Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.
413 K/Kr/1980, tanggal 26 Agustus 1980: Apabila yang dimaksud oleh
penuntut kasasi/terdakwa adalah "question perjudicielle au
jugement" seperti dinyatakan dalam Pasal 81 KUHP maka hal tersebut
sekedar memberi kewenangan dalam perkara pidana ini kewenangan tersebut tidak
dipergunakan oleh Hakim dan bukan memberikan kewajiban hukum kepada Hakim untuk
menunggu putusan dari Hakim Perdata mengenai persengketaannya, menangguhkan
penuntutan yang sedang diperiksa sambil menunggu putusan perdata; Bahwa
selanjutnya Hakim berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1956,
tidak terikat oleh suatu putusan perkara perdata tentang adanya atau tidak
adanya suatu hak perdata dan dengan demikian
Hakim Pidana diberikan
kebebasan untuk mengikuti
atau tidak putusan dalam perkara
perdata yang mempunyai sangkut paut dengan perkara pidana.
Putusan Mahkamah Agung No.
129K/Kr/1979 tanggal 16 April 1980
Yang
abstraksi hukumnya menyatakan :
Karena
pemeriksaan di Pengadilan Negeri telah berlanjut dan terbentur pada PREJUDICHIL
GESCHIL tentang hak milik atas tanah, maka tidak dapat diberi putusan berupa
tidak dapat diterima tuntutan ataupun putusan berupa lepas dari segala tuntutan
hukum dan yang seharusnya ditempuh adalah :
1. Menunda sidang sampai Hakim perdata menentukan siapa yang berhak
atas tanah tersebut dengan memberi waktu tertentu kepada Terdakwa untuk
mengajukan gugatan perdata ; atau
2. Perkara langsung diputus oleh
Hakim pidana berdasarkan bukti-bukti dalam pemeriksaan pidana ;
Putusan MA No. 628 K/Pid/1984 tanggal 22
Juli 1985
“Pengadilan Tinggi sebelum memutus pokok
perkara ini harusnya menunggu dulu putusan pengadilan yang akan menentukan
status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti”
Dalam amar putusan tersebut disebutkan :
Memerintahkan Pengadilan Tinggi bandung membuka
kembali persidangan dan memeriksa serta memutus pokok perkara ini sesudah
putusan pengadilan dalam perkara perdata yang akan menentukan status
kepemilikan tanah HGB No. 197/Penaragan terletak di Jalan Merdeka No. 11A Bogor
mempunyai kekuatan pasti.
sumber: http://minsatu.blogspot.com/2012/09/prejudicieel-geschil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar