Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Senin, 23 Maret 2015

AHLI WARIS



1. PENGERTIAN AHLI WARIS 


Menurut undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu : 
  1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang – undang
  2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab intestato”Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”. 
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.  Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya.

Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang.

Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris).

Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah. 

Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang masih hidup. 

Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W.

Seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito).

Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. 

Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu yg menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa.

Penuntutan tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus.

Seorang ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal dengan barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan. 

Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. 

Jadi, harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun.

Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada orang orang yang karna perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan. 

Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah : 

1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;

2. mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah menjadikan pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat;

3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat; 

4. mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris. 

Selain itu, oleh undang - undang telah ditetapkan bahwa ada orang – orang yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh si meninggal. 

Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat itu serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir. 

Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin menjadi perantara dari orang – orang ini (“tussenbiede komende personen”) dapat dibatalkan. 

Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap anak – anak dan isteri dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan dan tastement itu.

Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris.

Berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. 

Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.

2. SYARAT – SYARAT AHLI WARIS 

Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama.

Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya, sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu. 

Kemudian menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu ketetapan yang sah. 

Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang.

Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya,

Namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada. Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut : 

1. mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena :
a. hubungan darah (Pasal 832 B.W.)
b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.) 
2. harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 B.W. 3. ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan,

Adapun Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab sebelumnya .

jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam waktu yang sama? 

Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.

3. HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS

Dalam rangka untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak dan kewajiban pewaris.

Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament atau wasiat.

Isi wasiat tersebut dapat berupa :

1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat). 

2. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
a. ( hak atas) satu atau beberapa benda tertentu; 
b. ( hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu; 
c. ( hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan undang – undang.

Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. 

Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap: 

1. Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris. 

Baik secara diam – diam,atau terang-terangan, jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang,(menerima) yaitu dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang – hutang pewaris.

2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht van boedel beschriyving atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat waris terbuka. 

Akibat yang terpenting dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan,

dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggung pembayaran hutang dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebih besar dari harta bendanya. 

Adapun kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :

a. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat) bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.

b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.

c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan (“Dewa Made Suartha boedel tot effenheid brengen”). 

d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang memegang hypothek. 

e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang – orang yang menerima pemberian secara legaat.

Pekerjaan ini berupa menghitung harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan diperoleh,
jika barang – barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu dapat dipenuhi.

f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi. 3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. 

Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :

• memelihara harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
• mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.
• melunasi hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang. 
• melaksanakan wasiat jika ada.

4. PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA


Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat wasiat.

Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua disebut dengan Ahli Waris testamentair.

Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (suami) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara.

Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu? Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu: 

Golongan I :

golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau duda. Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan dari perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala.

Anak – anak yang mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang.

Yang dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak menerrima waris, tetapi telah meninggal terlebih dahulu. Kemudian tetang anak adopsi, Ali Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak adopsi kedudukannya sejajar seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya. 

Menurut ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang meninggal. 

Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu.

Bagaimanapun juga seorang istri tidak boleh lebih dari seperempat harta warisan. Yang dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme portie.

Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. 

Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat.

Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan (atau) pewarisnya.

Golongan II : 


golongan ini terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannya sampai derajat ke 6 (enam).

Menurut ketentuan pasal 854 KHUPdt, apabila seorang meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan saudara sebagai berikut :

a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertiga lebihnya,

b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya. 

Selanjutnya dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak atau ibunya masih hidup, maka :

a. Bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya ;

b. Bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat duapertiga lebihnya ;

c. Bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana mendapat tigaperempat lebihnya. 

Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt). 

Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama.(namunberlainan bapak atau ibu maka pembagiannya hanya berdasarkan pembagian atara suami atau istri )

Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua. 

Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah bagian bagi garis ibu.

Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis ibu.

Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857).

Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya masih hidup. 

Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)

Golongan III :

golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.

Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek. 

Dalam hal ini warisan itu dibelah menjadi dua.
Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu. 

Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh kepada orang tua kakek dan nenek (kake nenek buyut).

Apabila yang tidak ada itu hanya kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian yang masih hidup.

Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli waris lainnya.

Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama). 

Golongan IV : 


golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai derajat ke 6 (enam).

Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, istri atau suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli Waris yang terdekat pada tiap garis.

Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi berdasarkan bagian yang sama. 

Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi.

Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt). 

Apabila semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak luar kawin yang diakui.

Apabila anak luar kawin inipun juga tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2 KUHPdt). 

Dengan berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak luar kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974 hanya mengenal anak yg sah dan anak luar kawin (tidak sah).

Anak sah adalah Ahli Waris, sedangkan anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya dan keluarga sedarah dari pihak ibunya.

5. AHLI WARIS YANG TIDAK BERHAK MEWARIS 


Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris dan karenanya tidak berhak mewaris adalah :

1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.

2. mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah mengajajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat. 

3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membut atau mencabut surat wasiatnya.

4. mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris. Berbeda dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. 

Menurut uraian Prof. Hilman Adikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris. 

Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:

  1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
  2. orang yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bardah. 
  3. orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam atau Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi. 
  4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. 

Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris.

Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris.

Menurut Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada.

Menurut Pasal 1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa. 

Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan).

Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau membayar hutang. 

Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan. 

6. AHLI WARIS PENGGANTI 


KUHPdt membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij plaasvervulling”.

Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang memperoleh warisan berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya anak pewaris ,istri/suami pewaris.

Ahli waris “bij plaasvervulling”adalah ahli waris pengganti berhubung orang yang berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris.

Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak-anak ayah yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari kakek.

Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. 

Jika lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama.

Penggantian dapat juga terjadi pada keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa batas.

Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken).

Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya.

Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak terdapat penggatian
 
 
Kantor Hukum Balakrama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar