Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Rabu, 11 Maret 2015

PARATE EKSEKUSI dan GROSSE


. Pengertian Parate Eksekusi 
Parate eksekusi (parate executie) adalah pelaksanaan dari suatu perikatan dengan langsung tanpa melalui suatu vonnis pengadilan. Dalam Hukum Acara perdata Indonesia parate eksekusi atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial.
 
Menurut kamus hukum oleh Drs. Sudarsono, SH., M.Si, parate eksekusi ialah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian.
 
Parate eksekusi merupakan eksekusi langsung berdasarkan adanya grosse pada suatu akta pengakuan hutang. Dari sinilah kreditur dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan tanpa melalui proses peridangan.
 
Grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama tersebut diberikan kepada kreditur. Dalam buku Pedoman Tugas (Buku II) yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik yang diberikan kepada kreditur.
Menurut pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Asli akta pengakuan hutang (minut) tersebut disimpan oleh Notaris, sedangkan salinan pertama akta tersebut diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang kreditur. Dan salinan yang diberikan kepada debitur tidak memakai irah-irah seperti yang dipegang oleh kreditur tersebut.
 
Dalam acara perdata dijelaskan bahwa menurut pasal 258 RBg ada dua macam grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Dan yang kita bicarakan disini ialah grosse akta pengakuan hutang.
 
Disamping itu parate eksekusi juga berlaku bagi pemegang gadai (psl. 1155 BW). Jika debitur wanprestasi, maka pemegang gadai berhak menjual benda gadai atas kekuatan sendiri. Hak pemegang gadai untuk menjual barang gadai tanpa title eksekuturial (tanpa perlu perantara) disebut parate eksekusi. Dengan demikian pemegang menjual barang gadai seakan menjual barangnya sendiri, dan berhak mengambil pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Tetapi ketentuan psl. 1155 ini bersifat mengatur (aanvullend recht) dimana para pihak diberi kebebasan untuk memperjanjikan lain, misalnya melalui penjualan dimuka umum atau dibawah tangan. Namun demikian pemegang gadai dilarang memiliki benda gadai (psl. 1154 BW).

2. Spesifikasi Grosse Akta Pengakuan Hutang
Grosse akta pengakuan hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui grosssenya berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME yang dipegang kreditur (bank) dan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur saat peneguran membenarkan jumlah hutangnya itu.
 
Bentuk grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan sepihak (debitur) sebagai dokumen assesoir dengan perjanjian pokok pinjaman/kredit sebagai pokok hutang (contract of loan). Itu sebabnya, ditinjau dari segi yuridis, ikatan grosse akta (akta pengakuan hutang atau akta hipotik) adalah perjanjian “tambahan” yang bertujuan untuk memperkokoh perlindungan hukum terhadap pihak kreditur.
 
Ada pula menurut pasal 42 ayat 4 Peraturan Lelang menegaskan, berita acara lelang yang telah diberi bentuk sebagai grosse (memakai kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” pada bagian kepala berita acara) sama kekuatannya dengan grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang. Dengan demikian, terhadap grosse berita acara lelang berlaku ketentuan pasal 258 RBg. Sekiranya grosse berita acara lelang diberikan sebagai jaminan hutang, maka kreditur dapat meminta “executorial verkoop” ke Pengadilan Negeri, apabila pihak yang menjamin lalai membayar hutang.
3. Syarat sah grosse akta pengakuan hutang
Didalam praktek sering terjadi ketidak-seragaman penerapan tentang sahnya grosse akta pengakuan hutang berdasarkan pasal 258 RBg, disebabkan tidak adanya kesepakatan pendapat mengenai standar hukum.
Berikut ini Yahya Harahap, SH mengemukakan persyaratan yang merupakan Unifiedlegal Frame Work mengenai grosse akta pengakuan hutang.
a. Syarat Formil
1). Berbentuk akta Notaris
     bisa merupakan lanjutan atau peningkatan dari perjanjian hutang semula (dokumen pertama);
    bisa juga perjanjian hutang langsung dituangkan dalam bentuk akta Notaries.
2). Memuat Titel Eksekutorial
     lembar minut (asli) disimpan Notaris;
     grosse (salinan yg memakai irah-irah) diberikan kepada Kreditur.
Harus diingat tidak ada kewajiban hokum memberikan grosse kepada debitur, karenanya tidak diberikan kepada debitur tidak melanggar syarat formal dan tidak mengalangi parate eksekusi.
b. Syarat Materil
1). memuat rumusan Pernyataan Sepihak dari debitur :
     Pengakuan berhutang kepada Kreditur;
     dan mengaku Wajib membayar pada waktu yang ditentukan;
    dengan demikian rumusan akta Tidak Boleh memuat ketentuan perjanjian atau tidak boleh dimasukkan dan dicampurkan dengan perjanjian Hipotek (Kuasa Memasang Hipotek).
2). jumlah hutang Sudah Pasti (fixed load) tidak boleh berupa Kredit Flafon.
     jadi jumlah hutang Pasti dan Tertentu;
     berarti pada saat grosse akta dibuat, jumlah hutang Sudah Direalisir;
     jangkauan hutang yang pasti meliputi Hutang Pokok + Bunga (ganti rugi).
4. Azas Spesialitas Grosse Akta Pengakuan Hutang
Setiap grosse akta pengakuan hutang harus memenuhi azas spesialitas, dalam arti :
a. Harus menegaskan barang agunan hutang;
    tanpa menyebut barang agunan, dianggap tidak memenuhi syarat,
    dengan demikian grosse akta tadi jatuh menjadi ikatan hutang biasa,
   dan pemenuhannya tidak dapat melalui pasal 258 RBg, tapi harus gugat biasa.
b. Dan agunannya harus barang tertentu;
  - bisa berupa barang bergerak,
  - atau tidak bergerak.
c. Yang dapat dieksekusi berdasar pasal 258 RBg.
   - hanya barang agunan saja sesuai dengan azas spesialitas,
  
- sekiranya Executorial Verkoop atas barang agunan Tidak Cukup memenuhi pelunasan hutang:
   - tidak boleh dialihkan terhadap barang lain,
   - kekurangan itu harus dituntut melalui Gugat Perdata biasa,
   - hal itu sesuai dengan eksistensi grosse akta, bukan putusan pengadilan, tapi             disamakan dengan putusan.
5. Parate Eksekusi seperti eksekusi biasa, dengan ketentuan :
- Harus didahului dengan somasi (peneguran);
- Dalam pelaksanaan somasi debitur harus mengakui hutangnya seperti dalam grosse akta pengakuan hutang;
- Eksekusi dilakukan dengan executorial verkoop.
6. Beberapa permasalahan dalam grosse akta
a. Karena kelicikan debitur yang mengulur waktu pelunasan hutangnya;
b. Karena kecurangan yang dilakukan kreditur, seperti tidak memasukkan permbayaran yang dilakukan debitur kedalam rekening pembukuan;
c. Karena kekeliruan pembuatan dokumen grosse akta yang menyebabkan grosse akta pengakuan hutang tidak bernilai yuridis, yang sering terjadi percampur-adukkan grosse akta pengakuan hutang dengan grosse akta hipotik;
Dalam perkembangan bisnis/ekonomi syari’ah permasalah grosse akta bukannya tidak mungkin akan muncul kasus ini yang berhubungan dengan Perbankan syariah dan eksekusinya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
 
Selain parate eksekusi kemungkinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah eksekusi arbitrase, lembaga konsinyasi, perlawanan eksekusi grosse akta, dan lain-lain.
 
Disamping itu hakim dituntut memahami system kontrak syariah yang sangat menentukan setiap transaksi perbankan.
Juga yang tak kalah pentingnya ialah yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan yang memberikan hak jaminan seperti Gadai (psl 1150 BW), Hipotek Bab II BW Buku II hanya yang berlaku lagi terhadap kapal (UU No. 21/1992) dan pesawat terbabang dan helicopter (UU No. 12/1992), Hak Tanggungan (UU No. 4/1996), Fidusia (UU No. 42/1999) dan ada lagi jaminan perorangan seperti perjanjian penanggungan, perjanjian garansi dan perjajian tangung menanggung (tanggung renteng) yang bukannya tidak mungkin akan bersentuhan dengan bisnis/ekonomi syariah.



KANTOR HUKUM BALAKRAMA
 JL.Kijang 1/12A SEMARANG
www.balakrama.blogspot.com
balakrama6999@gmail.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar