Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Senin, 16 Maret 2015

GUGATAN


A. Umum
Gugatan dalam hukum perdata terdiri dari Gugatan Permohonan (voluntair) dan Gugatan Kontentiosa. Gugatan permohonan menurut Mahkamah Agung adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Ciri-ciri dari suatu permohonan sebagai berikut:
1.      masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only).
2.      permohonan tidak menyangkut sengketa dengan pihak lain;
3.      tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (ex-parte).
Sedangkan Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung permasalahan dengan orang lain yang mengandung sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties) yang diajukan kepada ketua pengadilan untuk diperiksa dan diputus.
Gugatan Kontentiosa kita temukan dalam,  pertama di Pasal 118 ayat (1), 119 dan 120 HIR dengan menyebut istilah ”Gugatan Perdata dan Gugatan”; kedua di Pasal 1 RV menyebut Gugatan Kontentiosa dengan istilah ”Gugatan” yang berbunyi ”tiap-tiap proses perkara perdata....,dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan....”. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, Gugatan Kontentiosa adalah adalah tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Mahkamah Agung menyebut Gugatan Kontentiosa dalam putusannya yang berbunyi ”selama proses perkara belum diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut gugatan dengan persetujuan tergugat”.

B. Syarat-syarat Gugatan
C.1. Syarat Formil
Syarat formal dari suatu gugatan, dapat dirinci sebagai berikut :
a.   Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
dalam surat gugatan biasanya disebutkan secara tegas tempat dimana gugatan itu dibuat. Misalnya apakah gugatan dibuat di tempat domicili penggugat atau di tempat kuasanya. Selanjutnya disebutkan tanggal, bulan dan tahun pembuatan gugatan itu. Tanggal yang termuat pada kanan atas surat gugatan itu hendaklah sama dengan tanggal yang dimuat pada materai surat gugatan. Apabila terdapat perbedaan tanggal, maka tanggal pada materai yang dianggap benar.
b.   Materai
dalam prakteknya, surat gugatan wajib diberi materai secukupnya. Suatu surat gugatan yang tidak dideri materai bukan berarti batal, tetapi akan dikembalikan untuk diberi materai. Pada materai itu kemudian diberi tanggal, bulan dan tahun pembuatan atau didaftarkannya gugatan itu di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.
c.   Tanda Tangan
Tanda tangan (handtekening) dalam Surat Gugatan merupakan syarat formil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 118 ayat (1) HIR, bahwa bentuk surat permohonan ditandatangani penggugat atau kuasanya. Menurut Pasal St. 1919-776, Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat membubuhkan Cap Jempol ─ berupa ibu jari tangan ─ di atas Surat Gugatan sebagai pengganti tanda tangan. Surat Gugatan yang dibubuhkan Cap Jempol selanjutnya dilegalisir di pejabat yang berwenang ─  misalnya Camat, Notaris, Panitera ─, namun bukan hal yang ”Imperatif” mengakibatkan (rechts gevolg) gugatan menjadi cacat hukum secara formil, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 769 K/Sip/1976 yang berbunyi ”....cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi hukum (van rechtswege nietig), tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisir”;
 
B. 1. Syarat Materiil
a.   Identitas Para Pihak
dalam suatu surat gugatan haruslah jelas diuraikan mengenai identitas Penggugat/Para Penggugat atau tergugat/para tergugat.
Identitas itu umumnya menyangkut :
1). Nama lengkap;
2). Tempat Tanggal Lahir/ Umur;
3). Pekerjaan;
4). Alamat atau domicili
Dalah hal penggugat atau tergugat adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau ada kalanya kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas badan hukum itu.
Penyebutan identitas para pihak dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak (absolute) keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
b.   Dasar-dasar gugatan (Fundamentum Petendi/Posita)
Dasar gugatan (grondslag van de lis ) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang mendalilkan suatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Mengenai Dasar Gugatan, muncul dua teori: Pertama, Substantierings Theori. Teori ini mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut; dan Kedua, Individualisering Theori. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar gugatan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 547 K/Sep/1971, yang menegaskan bahwa, ”....perumusan kejadian materi secara singkat sudah memenuhi syarat....”.
Di dalam praktek posita itu mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Obyek Perkara
2). Fakta-Fakta Hukum
3). Kualifikasi Perbuatan Tergugat
4). Uraian Kerugian
5). Hubungan Posita Dengan Petitum.
c.   Petitum
Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. Disamping itu petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh posita. Posita yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya tuntutan ditolak oleh hakim.
Dalam praktek peradilan, petitum dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1). Petitum Primer;
Petitum ini merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta atau dituntut.
2). Petitum Tambahan;
      Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer. Biasanya dapat berupa:
·   Tuntutan agar tergugat membayar biaya perkara;
·   Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
·   Tuntutan provisionil, yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
·   Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga muratoir;
·   Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom);
3). Petitum Subsider;
 
Diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar