Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Sabtu, 14 Maret 2015

MEDIASI PENAL

Salah satu kritik yang mengemuka adalah penerapan hukum pidana yang mengedepankan sisi formalitas yang cenderung represif serta kurang mengapresiasi posisi korban maupun pelaku tindak pidana, sehingga terkesan hukum pidana yang diberlakukan hanya sebagai alat pembalasan belaka, contoh kasus tindak pidana yang kerap terjadi di masyarakat seperti pencurian ataupun penganiayaan ringan, dimana pihak korban maupun pelaku telah sepakat untuk berdamai namun pihak kepolisian tetap saja meneruskan kasus hingga ke meja hijau. Ini merupakan sebuah contoh nyata bagaimana hukum pidana diberlakukan sebagai formalitas tanpa memperhatikan kepentingan korban maupun pelaku.
Kepentingan Korban serta Pelaku
Sebelum mengulas lebih jauh tentang Mediasi Penal dan Restorative Justice, dalam hal ini ada beberapa pertanyaan mendasar terkait pidana dan pemidanaan, pertama apakah yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? apakah untuk menciptakan efek jera, menciptakan keteraturan dan keamanan, ataukah hanya untuk tegaknya aturan hukum semata.
Sistem pemidanaan yang tengah berlangsung saat ini seakan tidak lagi memberikan efek jera kepada pelaku, ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah tahanan di LP, hingga terjadi over capacity, LP yang berkapasitas 2000 orang kini harus menampung beban hingga 3 kali lipat, tak jarang penghuni LP adalah Residivis yang telah mengulangi kejahatan yang sama berulangkali. Sehingga muncul seloroh bahwa LP tidak lagi sebagai tempat me-masyarakat-kan namun lebih mirip sebagai Academy of Crime, tempat dimana terpidana “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindak pidana.
Pertanyaan kedua, bagaimana dengan kepentingan korban? Hukum Pidana Indonesia masih belum sepenuhnya berorientasi terhadap korban, contoh sederhananya adalah apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukuman pidana,  maka apakah kepentingan dan kerugian korban juga telah terpenuhi? Barang tentu hal tersebut tidak otomatis mengakomodir kepentingan korban terutama terkait kompensasi, ganti rugi, maupun restitusi.
Restorative Justice  dan Mediasi Penal
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Marian Liebmann (2007, 26-28) memberikan beberapa rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai berikut :
1.       Memperioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
2.       Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan;
3.       Dialog antara korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4.       Ada upaya untuk meletakan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5.       Pelaku pelanggaran harus sadar tentang bagaimana tidak mengulangi lagi kejahatan tersebut dimasa datang;
6.       Masyarakat turut membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku.
Sedangkan Mediasi Penal merupakan proses Restorative Justice dalam hukum pidana yang dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban dengan tujuan untuk mereparasi dimana pelaku membetulkan kembali apa yang telah dirusak, konfrensi pelaku korban yang mempertemukan keluarga dari kedua belah pihak serta tokoh masyarakat. 
Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia
Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) yang lebih populer di lingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan di lingkungan hukum pidana. Ada beberapa aturan yang dapat menjadi dasar hukum pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia (Barda Nawawi Arief, 2007, 37-38) antara lain :
a.       Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR);
Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara  Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482,  surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan. Beberapa point penekanan dalam Surat Kepolisian tersebut antara lain :
-   Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui ADR;
-   Penyelesaian kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sacara profesional dan proporsional;
-   Penyelesaian perkara melalui ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar;
-   Penyelesaian perkara melalui ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi azas keadilan;
-   Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
b.       Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
c.       Tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
d.       Undang-Undang Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96).
Beberapa instrumen hukum diatas dapat menjadi rujukan dalam membantu kerja-kerja paralegal dalam menyelesaikan perkara pidana terutama sekali kasus-kasus Tindak Pidana Ringan.




KANTOR HUKUM BALAKRAMA
 JL.Kijang 1/12A SEMARANG
www.balakrama.blogspot.com
balakrama6999@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar