A. Perkembangan
Konstitusi Yunani
Konstitusi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dimulai sejak
zaman Yunani Kuno yang dapat dibuktikan dengan memperhatikan pendapat Plato yang
membedakan istilah nomoi dan politiea. Nomoi berarti
undang-undang, sedangkan politiea berarti Negara atau dapat
disepadankan dengan pengertian kostitusi. Politea mengandung kekuasaan yang lebih
tinggi daripada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan
pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar
tidak bercerai-berai. Akan tetapi pada masa itu konstitusi masih diartikan
secara materiil saja, karena belum dibuat dalam suatu naskah tertulis
sebagaimana dikenal pada masa kini. Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404
SM) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Pada masa itu
Aristoteles sebagai murid terbesar Plato berhasil mengumpulkan 158 konstitusi
dari berbagai negara sehingga diakui sebagai orang pertama yang mela kukan
studi perbandingan konstitusi.
Di dalam kebudayaan Yunani penggunaan
istilah UUD berkaitan erat dengan ucapan Resblica constituere yang
memunculkan semboyan “Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme Lex”
yang artinya rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur negara oleh
karena Raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang, sehingga kekuasaan raja
sangat absolut.
Pada masa itu pemahaman tentang
konstitusi hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat
kebiasaan semata-mata Bagi bangsa Yunani,Negara merupakan seluruh
pola pergaulannya, sebuah kota tempat terpenuhinya semua kbutuhannya secara
material dan spiritual. Keberadaan Negara, kataAristoteles,
tidak semata mata untuk memungkinkan adanya kehidupan, tetapi untuk membuat
kehidupan bias berjalan dengan baik. Menurut Plato dan Aristoteles, ujian atas
kewarganegaraan yang baik adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau
konstitusi.(CF.Strong,Asal Usul Perkembanganh Negara Konstitusional:24-25).
Dalam kondisi ini para filosof Yunani
memulai pemikiran politiknya, antara lain Plato, Socrates clan Aristoteles.
Dalam bukunya The Laws (Nomoi) Plato menyebutkan bahwa “Our whole
state is animitation of the best and noblest life“, Socrates dalam
bukunya Panathenaicus maupun dalam Areopagiticusmenyebutkan “the
politeia is the soul of the polis with power over it like that of the mind over
the body“, keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian
pula Aristoteles dalam bukunya Politicsmengkaitkan pengertian kita tentang
konstitusi dalam frase “in a sense of life of the city“. Apa yang tidak
dimiliki konstitusionalisme politik Yunani adalah sesuatu yang penting bagi
kelanjutan eksistensi bentuk pemerintahan seperti itu, yaitu kemampuan untuk
bergerak seiring dengan perubahan zaman dan memenuhi kebutuhan baru yang
muncul.
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak
dikenal ada nya istilah yang mencerminkan pengertian ka ta jus ataupun constitutio sebagaimana
dalam tra disi Romawi yang datang kemudian. Dalam ke se luruhan sistem
berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah
seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Perkata an consti
tution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa
latinnya, mula-mula digunakan se ba gai istilah teknis untuk menyebut the
acts of legisla tion by the Empe ror. Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum
Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka
istilah teknis constitutionjuga dipinjam untuk menyebut
peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja atau pun untuk
beberapa peraturan eklesiastik yang ber laku di gereja-gereja tertentu
(ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum
Ge reja (Kano nik) itulah yang sering dianggap sebagai sum ber rujukan atau
referensi paling awal mengenai peng gu na an
perkataan constitution dalam sejarah.
Dalam perkembangannya, bangsa Romawi
yang sedang melebarkan sayap kerajaan dunianya, berubah dari negara polis (city
state), menjadi suatu imperium (kerajaan dunia) yang dapat mempersatukan
seluruh daerah peradaban dalam suatu kerajaan. Pada zaman Romawi, meskipun ilmu
ketatanegaraan tidak mengalami perkembangan yang pesat dikarenakan, pada masa
Romawi lebih menitikberatkan persoalan -persoalan praktis daripada
masalah-masalah teoritis, namun pemikiran-pemikiran hukum pada zaman Romawi
sangat mempengaruhi perkembangan ketatanegaraan pada abad berikutnya. Beberapa
bukti di antara nya;
Pertama, pada saat terjadi pertentangan
antara kaum patricia (kaum ningrat) dengan
kaum Plebeia (kaum gembel, rakyat jelata). Pertentangan ini dapat
diselesaikan dengan sebuah undang-undang yang terkenal dengan nama Undang-Undang
12 Meja. Kedua, penggunaan istilah ius gentiumpertamakalinya
digunakan pada zaman Romawi untuk menunjukkan bahwa kerajaan Romawi telah
membedakan hukum bagi orang-orang Romawi dan di luar Romawi. Bagi orang Romawi
diberlakukan ius civil, sedangkan di luar Romawi (bukan Romawi Asli)
diberlakukanius gentium(yang dikenal dengan sebutan hukum antar
negara). Ketiga, penggunaan perkataan lex dikenal pada masa
Romawi. Lex ini dipahami sebagai konstitusi untuk menentukan
bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan, yang kemudian menjadi kata
kunci untuk memahami konsepsi politik dan hukum.
Pada dasarnya gagasan konstitusi dan
konstitusionalisme pada masa Romawi sudah terlihat. Namun demikian, gagasan
konstitusionalisme ini sungguh sangat disayangkan harus lenyap seiring dengan
kekalahan bangsa Romawi oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki
abad pertengahan (600-1400).
Mula-mula, Romawi adalah sebuah monarki,
tetapi kemudian raja-rajanya diturunkan dengan paksa. Sekitar 500 SM., republic
mulai muncul secara jelas, disusul dengan perebutan kekuasaan antar golongan
(Patrician-bangsawan dan Plcbeians-buruh petani) yang berlangsung lama dan
berakhir (300 SM) dengan ditetapkannya persamaan hak terhadap rakyat jelata
yang dilindungi oleh para pejabat yang dipilih khusus untuk itu yang disebut
Tribunes. Dalam konstitusi repulik ini,ada tiga elemen pemerintahan yang
diharapkan dapat saling memeriksa dan mengimbangi (balance and check) satu sama
lain. Yang pertama adalah elemen monarki (diserahkan dari tangan raja semula)
yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk jabatan penasihat. Elemen kedua
adalah elemen aristokratis yang diwujudkan dalam bentuk Senat,sebuah majelis
yang dalam suatu masa memiliki kekuasaan legislative yang sangat besar. Elemen
ketiga adalah elemen demokratis yang berupa pertemuan-pertemuan rakyat dalam
tiga jenis konvensi yang dibagi berdasarkan tanah atau rakyat (cury, century,
atau suku bangsa)
Demokrasi Romawi, seperti juga demokrasi
Negara-kota Yunani, merupakan demokrasi primer atau demokrasi langsung,
sedangkan gagasan perwakilan adalah hal yang asing bagi keduanya. Teori
kekuasaan Kekaisaran Romawi dapat dihimpun dengan jelas
dan Institutes dan Digest Kaisar Justinian (538-565 M), penyusun
terkenal hukum Romawi (Roman Law). Walaupun kekuasaan yang sebanarnya
hanya terbatas pada Kekaisaran Romawi di belahan timur dan berpusat di
Konstantinopel. Konstitusi Romawi yang di mulai sebagai suatu perpaduan
harmonis antara elemen monarki,aristokrasi,dan demokrasi telah berakhir sebagai
suatu aristokrasi yang tidak bertanggungjawab. Perasaan nasional sama sekali
tidak ada dalam Imperium Romawi.
Berpengaruhnya abadi konstitusionalisme
Romawi, pertama,Hukum Romawi (Roman Law) berpengaruh besar terhadap
sejarah hukum Eropa continental. Kedua, kecintaan bangsa Romawi akan
ketenteraman dan kesatuan sangat kuat sehingga orang-orang di Abad Pertengahan
terobsesi dengan gagasan kesatuan politik dunia untuk menghadapi kekuatan
disintegrasi. Ketiga,konsepsi dua sisi kedaulatan legal kaisar-pada satu
sisi, kesenangan hatinya adalah hokum dan di sisi lain, kekuasaannya dianggap
berasal dari rakyat-berlangsung selama berabad-abad dan bertanggung jawab atas
dua pandangan berbeda tentang hubungan pemerintah dan pihak yang diperintah di
Abad Pertengahan. (C.F Stong,2010 : 26-32).
C. Perkembangan
Kostitusi Abad Pertengahan
Bermula dari Holly Roman Empire yang
didirikan oleh Charles Agung pada 800 M,. dimana pemerintahannya sangat berbeda
dengan Kekaisaran Romawi semula. Holly Roman Empire adalah Kekaisaran Roma yang
telah dimodifikasi secara territorial, rasial,social, politik dan spiritual
hingga mencapai taraf yang di sana konstitusionalisme Roma lama lenyap
seluruhnya. Sebelum kekaisaran Charles Agung mengembangkan konstitusi,
kekaisaran itu terpecah-pecah diantara para penerusnya yaitu timbul masalah
konstitusional perebutan kekuasaan antarbangsa yaitu eksperimen yang umumnya
dikenal sebagai Gerakan Dewan (Conciliar Movement) antara lain Dewan Umum,
Dewan Pisa (1409), Dewan Constance (1414-1418) dan Dewan Basel (1431-1439).
Sehingga fenomena feodalisme kemudian berkembang pesat di seluruh Eropa.
Feodalisme adalah salah satu jenis konstitusionalisme Abad Pertengahan karena
dalam beberapa taraf tersusun menjadi suatu bentuk pemerintahan social dan
politik yang dapat diterima secara umum. Ciri utamanya adalah pembagian Negara
menjadi unit-unit kecil. Prinsip umum feodalisme adalah “setiap orang harus
punya penguasa. Kejahatan feodalisme terletak pada sedemikian banyaknya
kekuasaan yang diberikan pada baron-baron tinggi dan proporsisi kekuatan mereka
di masa itu yang terhambat ketika Negara kesatuan bangkit. (C.F Strong, 2010:
32-35)
Sehingga pada abad pertengahan perkembangan konstitusi didukung oleh
aliranmonarchomachen yang terutama terdiri dari golongan Calvinis. Aliran
ini tidak menyukai kekuasaan mutlak raja. Untuk mencegah raja bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat, aliran ini menghen daki suatu perjanjian
antara rakyat dan raja. Perjanjian antara rakyat dan raja dalam kedudukan yang
sederajat menghasilkan naskah yang disebut Leges Fundamentalis yang
memuat hak dan kewajiban masing-masing. Raja tidak hanya dapat dimintai
pertanggungjawaban tetapi juga dapat dipecat bahkan dibunuh jika memang perlu.
Perjanjian antara rakyat dan raja ini lambat laun dituangkan dalam suatu
naskah tertulis. Adapun tujuannya adalah agar para pihak dapat dengan mudah
mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Selain itu, memudahkan salah satu
pihak yang merasa dirugikan menuntut pihak lain yang melanggar perjanjian.
Perjanjian yang berisi hak dan kewajiban itu dapat juga terjadi antara
raja dengan para bangsawan. Para bangsawan berhak meminta perlindungan kepada
raja. Sementara itu, raja berhak meminta bantuan para bangsawan jika terjadi
perang. Bahkan perjanjian dapat dilakukan antara orang-orang sebelum ada
negara. Dalam sejarah para kolonis yang menuju benua Amerika sudah membuat
perjanjian ketika masih berada di kapal “Mayflower“.
Semula
konstitusi dimaksudkan untuk mengatur dan membatasi wewenang penguasa, menjamin
hak (asasi) rakyat, dan mengatur pemerintahan. Seiring dengan kebangkitan paham
kebangsaan dan demokrasi, konstitusi juga menjadi alat mengkonsolidasikan
kedudukan politik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai
cita-cita. Itulah sebabnya pada zaman sekarang konstitusi tidak hanya memuat
aturan hukum, tetapi juga merumuskan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan
patokan kebijaksanaan yang secara keseluruhan mengikat penguasa.
Pada
abad pertengahan ini terdapat beberapa istilah yang dipakai pada zaman Romawi
yang substansinya mengilhami peraturan-peraturan dalam negara pada periode
berikutnya. Seperti misalnya, terdapat kodifikasi hukum yaitu kodifikasi hukum
yang diselenggarakan oleh raja, disebut Corpus Juris, dan kodifikasi yang
diseleng garakan oleh Paus Innocentius, yaitu peraturan yang dike luarkan oleh
gereja yang disebut Corpus Juris Connonici. Yang terpenting dalam
penulisan ini adalah Corpus Juris, yang terdiri dari empat bagian :
1. Instituten, ini adalah sebuah ajaran, tapi
mempunyai kekuatan mengikat seperti Undang-Undang, kalau dalam Undang-Undang
itu mengenai sesuatu hal tidak terdapat pengaturannya, maka pengaturan mengenai
hal tersebut dapat dilihat dalam Instituten tadi.
2. Pandecten, ini sebetulnya merupakan penafsiran
saja dari para sarjana terhadap suatu peraturan.
3. Codex, ini adalah peraturan atau
undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah/penguasa.
4. Novellen,
ini adalah tambahan dari suatu peraturan atau undang-undang.
Selanjutnya
konstitusi merupakan sumber hukum terpenting dan utama bagi negara. Pada zaman
modern hampir dapat dikatakan tidak ada negara yang tidak mempunyai konstitusi.
Dengan demikian antara negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan.
Pada tahun 1789 meletus revolusi di Perancis,
ditandai oleh ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas
keamanan negara. Maka pada tanggal 14 September 1791 tercatat diterimanya
konstitusi Eropa pertama oleh Louis XVI. Sejak peristiwa inilah, sebagian besar
negara-negara di dunia sama-sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada
sandaran konstitusi.
D. Perkembangan
Konstitusi Islam
Perkembangan konstitusi dan
konstitusionalisme juga dapat dilacak pada peradaban negara-negara Islam.
Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan pada abad
pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang
pesat perada ban baru di lingkungan penganut ajaran Islam. Atas penga ruh Nabi
Muhammad SAW, ba nyak sekali inovasi-inovasi baru dalam kehidupan umat manusia
yang di kembangkan menjadi pen dorong kemajuan peradaban. Salah satunya ialah
penyusunan dan penandatanganan per setujuan atau perjanjian bersama di antara
kelom pok-kelompok penduduk kota Madinah untuk ber sama-sama membangun
struktur kehidupan ber sama yang di kemudian hari berkembang men jadi kehidupan
ke ne gara an dalam pengertian modern sekarang. Naskah per setujuan bersama
itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam
Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah
umat manusia yang dapat dibandingkan dengan penger tian konstitusi dalam
arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad
SAW dengan wakil-wakil pen du duk kota Madinah tak lama setelah beliau
hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelum nya, pa da tahun
622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah ter sebut dengan berbagai macam
istilah yang berlainan satu sama lain
Para
pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi
per janjian masya rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga
belas kelompok komu nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam.
Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari
suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii)
Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum
Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu
Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x)
Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu
Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara
keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya,
mene gas kan prinsip per satuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan wa hidatan
min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka ada lah ummat yang satu, lain dari
(komunitas) manusia yang lain). Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (pa ra
pendukung piagam) bahu membahu dalam meng ha dapi penyerang atas kota Yatsrib
(Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi memi kul biaya ber sama
kamu mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi
dari Bani ‘Awf ada lah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kamu mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat.
Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan
persatuan dalam kera ga man tersebut demi kian indah dirumuskan dalam Pia gam
ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang mung kin akan menyerang kota Madinah,
setiap warga kota di tentukan harus saling bahu membahu.
Dalam
hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas diten tu kan
adanya kebeba san beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka,
dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini
bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum diinu
kum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agama ku) yang menggunakan
perkataan “aku” atau “kami” ver sus “kamu”. Dalam piagam digunakan perkataan
mere ka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang
sama dengan Nabi. HalH
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47
berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:
Sesungguhnya
piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian)
aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan
khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda
Muhammad Rasulul lah SAW).
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam
Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling pen ting selama
abad-abad pertenga han yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian
bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah
perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam Madinah ini
dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat
manusia, meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi mo dern yang dikenal
dewasa ini.
Konstitusi Amerika Serikat tahun
1787-lah yang pada umumnya dianggap sebagai konstitusi ter tulis pertama.
Peristiwa penandatangan Pia gam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai
per kembangan yang paling modern di zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai
tradisi kene gara an yang berkembang di kawasan yang dipe ngaruhi oleh
peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama yang biasa
dikenal dengan se bu tan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar ibn Khat
tab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
E. Perkembangan
Konstitusi Inggris
Parlemen pertama di Inggris yang terdiri
dari wakil-wakil county dan kota dibentuk pada 1265. Sejak tahun1295,
tahun “Parlemen Model” Edward I, parlemen-parlemen bersidang dengan interval
waktu yang tidak tetap,terutama bertujuan untuk memberikan dana bantuan keuangan
kepada raja. Namun pada akhir abad ke-14,muncul alasan baru bagi keberadaan
parlemen. Tahun 1399, Raja Richard II diturunkan dengan paksa dan seorang
keturunan keluarga Edward III yang lebih muda, wangsa Lancaster, merebut tahta.
Karena tidak memiliki hak waris keturunan yang sebenarnya,Raja Henry IV dan
para penerusnya bergantung pada Parlemen untuk mengesahkan kedudukan mereka.
Meskipun demikian, kelemahan posisi wangsa Lancaster semakin bertambah dengan
kekalahannya dalam perang melawan Perancis dan ketidakmampuan Raja Henry IV
yang penurunan tahtanya diakibatkan oleh Perang Mawar. Raja Edward IV, harus
meneruskan perang yang semakin mendekat akibat kekalahan saudaranya, Richard
III di Boswoth oleh Henry Tudor tahun1485. Peristiwa inilah yang mengawali berdirinya
monarki yang sesekali disebut Despotisme Tudor (Tudor Despotism).Despotisme
Tudor memiliki tiga orang pemerintahan yaitu Dewan,Parlemen dan Hakim-hakim
setempat (the Justices of the Peace).Dewan adalah kaki tangan raja
dibagian eksekutif.
Perang
saudara (1642-1649) benar-benar menghancurkan kesempatan apapun yang ada di
Inggris untuk mendirikan tipe despotisme terbuka (Englightened Despotism) yang
telah berkembang pesat di Eropa continental.
Fakta penting Revolusi tahun 1688,pertama, penguasaan urusan
Negara telah di alihkan secara efektif dari Raja kepada “Raja dalam
Parlemen”; kedua,perubahan ini ditetapkan berdasarkan undang-undang,dimana
sebelumnya yang berlaku hanya hokum adat-istiadat dan konvensi.
Berbagai
macam undang-undang yang disahkan selama masa Revolusi Tahun 1688-1689
menetapkan kedaulatan Negara Inggris berada di tangan Parlemen, karena the
Bill of Right dan the Mutiny Act- Undang-Undang
Pemberontakan memberi Parlemen kekuasaan atas angkatan bersenjata. Fungsi
eksekutif dalam Parlemen tetap berada ditangan raja dan menteri-menterinya.
Tetapi selama abad ke-18, telah berkembang system kabinet yang dibangun atas
partai-partai dengan perkembangan konvensi murni.
Sejarah hukum Negara telah menetapkan asas dasar yang dikenal dengan
“Rule of Law” (Kedaulatan Hukum), yang artinya persamaan kedudukan semua warga
Negara dari tingkatan apapun di hadapan hukum. Di satu sisi, undang-undang
seperti Habeas Corpus (1679) dan the Act of Setttlement (1701) telah menjamin
kekebalan warga Negara dari kesalahan hukuman penjara dan di sisi lain,
menjamin pula kekebalan seorang hakim dari campur tangan raja. (C.F Strong,
2010: 40-45).
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan
dengan istilah konstitusi adalah “Consti tutions of Cla rendon 1164” yang
disebut oleh Henry II sebagai const i tutions, avitae constitu tions or
leges, a recordatio vel recognition, me nyangkut hubungan antara gereja dan
pemerintahan negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi
peraturan yang disebut sebagai kon stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik,
meskipun pemasyarakatannya dilaku kan oleh pemerintahan seku ler. Namun, di
masa-masa selanjutnya, istilahconstitutio itu sering pula dipertukarkan
satu sama lain dengan istilah lex atauedictum untuk menyebut
berbagai secular administrative enactments.Glanvill sering meng guna
kan kata constitution untuk a royal edict (titah raja atau
ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by
grand assize as ‘legalis is a constitutio’, dan menyebut the assize of
novel disseisin sebagai a re cog nitio sekaligus sebagai a
constitutio.
Beberapa tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada
tahun 1236, Brac ton menulis arti kel yang menyebut salah satu ketentuan
dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, dan mengaitkan satu
bagian dari Magna Carta yang dikeluarkan kembali pada tahun 1225
sebagaiconstitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu
zaman), Beauma-noir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the re
medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the
kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, per kata
an constitution selalu diartikan sebagai a particular
administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers.
Perkataan consti tution ini dipakai untuk membedakan antaraparticular
enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebia
saan). Pendapat dari tokoh lainnya yaitu Pierre
Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De
Republica (1578) dan Sir James Whitelocke pada sekitar tahun yang sama.
Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti bahwa
konstitusi republik bukanlah hasil ker ja satu wak tu ataupun satu orang,
melainkan kerja kolektif dan aku mu latif. Oleh karena itu, dari sudut
etimologi, konsep kla sik mengenai konsti tusi dan konstitusionalisme dapat
ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger tian dan penggunaan
perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan
perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara
keduanya satu sama lain di se panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman
praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan
demikian itu lah yang pada akhirnya mengantarkan umat ma nu sia pada pe
ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern.
Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti tutiondikaitkan dengan
beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the
ordinance or re gu lation so establi shed”. Selain itu,
kataconstitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan
hakikat sesuatu.
Dalam
pengertiannya yang demikian itu, kon stitusi selalu dianggap “mendahului”
dan “menga tasi” pemerin ta han dan segala keputusan serta peraturan lainnya.
Kon stitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam
sifatnya yang supe rior dan kewenangannya untuk mengikat.
Secara
tradisional, sebelum abad ke-18, kon sti tu tionalisme memang selalu dilihat
sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu
bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang
mendahuluinya.
F. Perkembangan
Konstitusi Modern
Konstitusi modern dimulai sejak adanya pengundangan
UUD yang tertulis, yaitu pada UUD Amerika Serikat (1787) dan deklarasi Perancis
tentang hak-hak asasi manusia dan warga Negara (1789). Melalui kedua naskah
tersebut kemudian memberikan dampak yang cukup besar terhadap Negara-negara
lainnya. Dengan diundangkannya UUD tertulis banyak mempengaruhi dan memberikan
wawasan tentang perlunya UUD sebagai suatu konstitusi. Akan tetapi ada sebagian
kecil Negara yang tidak memiliki UUD secara tertulis seperti Inggris misalnya.
Namun demikian bukan berarti Inggris tidak memiliki konstitusi. Karena sesuai
dengan zaman modern konstitusi bias lahir dari adanya kebiasaan yang
timbul dari praktik ketatanegaraan.
Secara
luas konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar baik yang tertulis atau tidak
tertulis yang mengatur secara mengikat mengenai penyelenggaraan ketatanegaraan
suatu Negara. Pada dasarnya konstitusi modern menganut pokok-pokok yang
didalamnya terkandung:
1. Jaminan
hak-hak asasi manusia.
2. Susunan
ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
3. Pembagian
pada pembatasan kekuasaan.
Konstitusi
dibuat oleh lembaga khusus dan yang tinggi kekuasaannya. Konstitusi juga
sebagai sumber hukum yang tertinggi sehingga dijadikan patokan untuk
menentukan UU, membuat kebijakan, serta dapat membatasi kewenangan penguasa
dalam suatu Negara. Dari sifat konstitusi yang flexible dan rigid (kaku), maka
konstitusi pada perkembangan modern dapat menyesuaikan keadaan dalam suatu
Negara yang berhubungan dengan masyarakat sehingga lebih menjamin hak-hak asasi
masyarakat.
Ketatanegaraan dituangkan sebagai bentuk kaidah-kaidah hukum yang dapat
digunakan untuk membatasi kekuasaan yang didalamnya mengandung prinsip Negara
hukum, pembatasan kekuasaan, demokrasi, jaminan hak-hak asasi manusia dalam
bentuk konstitusi. Pembatasan kekuasaan dapat dilakukan melalui suprastruktur
politik maupun infrastruktur politik.
Rakyat dapat mengontrol
kekuasaan penguasa dan lebih berperan dalam keikutsertaannya dalam suatu
lembaga Negara. Secara ringkas konstitusi merupakan tujuan dan cita-cita suatu
Negara
sumber dari diktat kuliah Hukum Konstitusi Magister Ilmu Hukum Universitas Semarang ;Dosen pengampu Dr.Kadi Sukarna,S.H.,M.H