Bukan sekedar bicara hukum secara normatif saja namun dilihat berbagai sudut pandang dengan segala pengalaman dan cerita.....UNTUK SARAN,PENGADUAN,KONFIRMASI,KLARIFIKASI,KONSULTASI SILAHKAN WA/LINE/SMS :0813 9080 6999

Selasa, 09 Februari 2016

SISTEM PERADILAN PIDANA

Sistem Peradilan Pidana adalah sebagai berikut :
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Prof.Dr.Muladi,SH pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.

Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.

Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law enforcement”.
Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System.

Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian sistem peradilan pidana, sebagai berikut :

1.      Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.

2.      Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

3.      Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

4.      Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan.

Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana

Mardjono Reksodipoetro juga berpendapat, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah:
1.      Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2.      Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3.       Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Menurut Prof.Dr.Muladi,SH tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a.       Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b.      Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c.       Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).

Selanjutnya menurut Prof.Dr.Muladi,SH bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.

Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a.       Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b.      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c.       Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana. 

Menurut Prof.Dr.Muladi,SH juga ditegaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1.      Susbtansi.
Yaitu hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2.      Struktur.
Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
3.      Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.

 Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )

Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
1.      Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
2.      Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
3.      Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
4.      Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.

Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana.

Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.

Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.

Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini dilakukan dalam suatu sistem peradilan pidana (Criminal justice system). Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.

Istilah criminal justice system menurut Ramington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita adalah sebagai berikut:

Criminal justice sytem dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

Marjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

 Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Marjono tersebut terlihat bahwa komponen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Selanjutnya Marjono juga mengemukakan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah diadili, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.

 Menurut Romli Atmasasmita, dengan diundangkannya undang-undang No. 8 tahu 1981 tentang Acara pidana, menjadikan sistem peradilan pidana Indonesia menganut sistem akusator dan terpengarung oleh Due process model. Konsep Due Process model sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan diri diatas hukum. Sistem akusator adalah suatu sistem yang menitik beratkan pembuktian dengan saksi dan bukti nyata.

Konsep Due process model sangat menjunjung asas Presumption of innocence. Menurut konsep ini setiap pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan harus mengikuti prosedur formal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh undang-undang. adapun nilai-nilai yang melandasi due process model ini adalah:
  • Mengutamakan formal adjudicative dan adversary fact-finding. Hal ini berarti bahwa seorang tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hanya secara penuh untuk melakukan pembelaan
  • Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan.
  • Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena keuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari Negara.
  • Memegang teguh doktrin legal audit, yakni:
–       Seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara procedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk itu
–       Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak
  • Gagasan persamaan kedudukan di muka hukum lebih diutamakan
  • Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sistem peradilan pidana sangat terkait erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil (acara pidana). Dalam hal ini sistem peradilan pidana adalah merupakan bentuk perwujudan penegakkan hukum “in concreto”, sedangkan perundang-undangan merupakan perwujudan penegakkan hukum “in concreto

Prof.Dr. Muladi,S.H, dalam bukunya menyatakan bahwa kata Integrated sangat menarik perhatian bilamana dikaitkan dengan istilah system dalam the criminal justice system. Hal ini disebabkan karena dalam istilah system seharusnya sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination). Di samping karakteristik yang lain seperti adanya tujuan-tujuan yang jelas dari system, proses: input – throughput – output and feedback, system control yang efektif, negative – entropy dan sebagainya.[1] Prof.Dr.Muladi,SH  juga mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai keadilan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat.

Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.

Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial.

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana, ialah : Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan), Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana, Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara, Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice.”[2]

Komponen – komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan . Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated criminal justice system”. Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :

  1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
  2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
  3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.[3]

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. Mardjono Reksodiputro[4] dengan gambaran bekerjanya system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:

  1. kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;
  2. kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub system); dan
  3. karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidanaMenteri Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan bersama.”

Dari uraian-uraiannya, Romli Atmasasmita juga berpendapat bahawa pengertian system peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekata normatif, manajemen dan sosial, ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. [5]Inilah juga yang menjadi dasar pengertian terpadu di dalam sistem peradilan pidana.

Dalam bukunya pula, mengenai penggunaan istilah Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu Prof.Dr. Muladi,SH menyatakan kesetujuannya dalam penggunaan istilah tersebut apabila penyebutan istilah tersebut diarahkan untuk lebih memberikan tekanan, agar supaya integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidanan mampaknya merupakan disturbing issue di berbagai Negara.[6]




[1] Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Hal. 1.
[2] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, 1996. Hal. 9.
[3] Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ibid, hal. 1.
[4] Yesmil Anwar, S.H. , M.Si. dan Adang, S.H. ,M.H. ,Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam penegakan hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, 2009. Hal.36.
[5] Ibid. hal. 37.
[6] Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, hal. 1




Tidak ada komentar:

Posting Komentar