Sistem Peradilan Pidana adalah sebagai
berikut :
Sistem
Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”.
Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara
sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
pandangan Prof.Dr.Muladi,SH pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik
sebagai physical system dalam arti seperangkat
elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai
abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur
yang satu sama lain saling ketergantungan.
Dan
apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun (antar)
bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan
merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu
mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau
membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan
peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan
pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan
bagi masyarakat.
Sistem
Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah menjadi suatu
istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
mempergunakan dasar pendekatan sistem. Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan
pidana.
Sistem
peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan
ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan
terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum.
Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat
pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan
hukum adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan
hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law
enforcement”.
Menurut
Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan
sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem
yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law
enforcement officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan
istilah yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System.
Untuk
mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice
sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian sistem peradilan
pidana, sebagai berikut :
1. Dalam
Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of
court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”.
Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di
dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum
pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh
peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan
hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington
dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya.
3. Mardjono
Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
4. Menurut
Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks
sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
Berbagai
pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas
memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal
Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem
Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem
sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi
segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan,
stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam
skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi
pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).
Sistem
peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana.
Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu
sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena
perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana
”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.
Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana,
karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil
kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan.
Lembaga
legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah
hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang
telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada
hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan
hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan
dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar
merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh
mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality
principle). Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum
acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle)
yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan
sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini
penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas
(priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem
peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama.
Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau
tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana
Mardjono
Reksodipoetro juga berpendapat, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem
Peradilan Pidana adalah:
1. Mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan
agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut
Prof.Dr.Muladi,SH tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai
berikut :
a. Tujuan
jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana.
b. Tujuan
jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan
pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c. Tujuan
jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social
welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).
Selanjutnya
menurut Prof.Dr.Muladi,SH bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna
dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi
struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial
(substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural
syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan
keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam
kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi
substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun
horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang
sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik
tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen
Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan)
diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated
Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem
tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a. Kesukaran
dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi
sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b. Kesulitan
dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai
subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c. Dikarenakan
tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi
tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan
Pidana.
Menurut
Prof.Dr.Muladi,SH juga ditegaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana merupakan
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Secara
sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar
bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim
menerapkannya.
Sistem
Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1. Susbtansi.
Yaitu hasil
atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2. Struktur.
Yaitu
lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
3. Kultur.
Yaitu
bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur
adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
Berbagai
pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang
berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana
merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di
dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat)
yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
Sistem
Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open
system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu
mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan
lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik,
pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan
Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )
Sistem
Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara
sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan
Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
1. Menghasilkan
data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan
data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam
menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
2. Mengetahui
keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan
kejahatan.
3. Kedua
butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam
kebijakan sosial.
4. Memberikan
jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.
Sistem
ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari
masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan,
penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah
diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada
masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan
mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak
bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal
inipun pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti
bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke
Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan
terhadap narapidana.
Di
dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-output.
Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang terjadinya
tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah
hasil-hasil yang diperoleh.
Sebagai
suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi
yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem
tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara
keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang
erat satu dengan yang lainnya.
Proses
penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia saat
ini dilakukan dalam suatu sistem peradilan pidana (Criminal justice
system). Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System kini
telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Istilah criminal
justice system menurut Ramington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh
Romli Atmasasmita adalah sebagai berikut:
Criminal
justice sytem dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana,
dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya.
Marjono
Reksodipoetro memberikan batasan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Marjono
tersebut terlihat bahwa komponen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana
adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Selanjutnya
Marjono juga mengemukakan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah
mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan
yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah diadili, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Menurut Romli Atmasasmita, dengan
diundangkannya undang-undang No. 8 tahu 1981 tentang Acara pidana, menjadikan
sistem peradilan pidana Indonesia menganut sistem akusator dan terpengarung
oleh Due process model. Konsep Due Process model sangat
menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana tidak seorang pun
berada dan menempatkan diri diatas hukum. Sistem akusator adalah suatu
sistem yang menitik beratkan pembuktian dengan saksi dan bukti nyata.
Konsep Due
process model sangat menjunjung asas Presumption of innocence.
Menurut konsep ini setiap pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan,
maupun pemeriksaan di sidang pengadilan harus mengikuti prosedur formal
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh undang-undang. adapun nilai-nilai yang
melandasi due process model ini adalah:
- Mengutamakan formal
adjudicative dan adversary fact-finding. Hal ini
berarti bahwa seorang tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang
tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hanya secara
penuh untuk melakukan pembelaan
- Menekankan pada
pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme
administrasi peradilan.
- Proses peradilan harus
dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum
karena keuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untuk
menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari Negara.
- Memegang teguh
doktrin legal audit, yakni:
–
Seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara
procedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk itu
–
Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan
jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang
bersangkutan tidak efektif penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan
oleh pengadilan yang tidak memihak
- Gagasan persamaan
kedudukan di muka hukum lebih diutamakan
- Lebih mengutamakan
kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
Sistem
peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana.
Oleh karena itu sistem peradilan pidana sangat terkait erat dengan
perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil (acara pidana). Dalam hal ini sistem peradilan pidana adalah
merupakan bentuk perwujudan penegakkan hukum “in concreto”, sedangkan
perundang-undangan merupakan perwujudan penegakkan hukum “in concreto”
Prof.Dr.
Muladi,S.H, dalam bukunya menyatakan bahwa kata Integrated
sangat menarik perhatian bilamana dikaitkan dengan istilah system dalam the
criminal justice system. Hal ini disebabkan karena dalam istilah system
seharusnya sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination). Di
samping karakteristik yang lain seperti adanya tujuan-tujuan yang jelas dari
system, proses: input – throughput – output and feedback, system control yang
efektif, negative – entropy dan sebagainya.[1]
Prof.Dr.Muladi,SH
juga mengemukakan bahwa sistem peradilan
pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana.
Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Hal ini
dimaksudkan untuk mencapai keadilan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh
masyarakat.
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk
pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial. Pendekatan
normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur
penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja,
baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak
hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan
tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial.
Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri
pendekatan sistim dalam peradilan pidana, ialah : Titik berat pada koordinasi
dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan), Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan
oleh komponen peradilan pidana, Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan
lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara, Penggunaan hukum sebagai
instrumen untuk memantapkan “The administration of justice.”[2]
Komponen – komponen yang bekerja sama dalam sistem ini
dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated
criminal justice system”. Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice
system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat
dibedakan dalam :
- Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan
keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
- Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan
keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan
hukum positif.
- Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan
keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.[3]
Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang
satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap
masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan dampak pada
subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai
akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali
pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila
masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya.
Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan pidana, tidak boleh bekerja
tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.
Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu
pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat
undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam
politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana
dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan
dari penegakan hukum.
Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal
policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals
whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.
Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus
dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat
elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai
Abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur
yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. Mardjono Reksodiputro[4]
dengan gambaran bekerjanya system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat
dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan. Jelas
dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut
tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:
- kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan
atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;
- kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah
pokok masing-masing instansi (sebagai sub system); dan
- karena tanggung jawab masing instansi kurang
jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan
efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidanaMenteri Kehakiman
sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system sebenarnya
kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen
administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan
dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan
bersama.”
Dari uraian-uraiannya, Romli Atmasasmita juga
berpendapat bahawa pengertian system peradilan pidana dapat dilihat dari sudut
pendekata normatif, manajemen dan sosial, ketiga bentuk pendekatan tersebut,
sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. [5]Inilah
juga yang menjadi dasar pengertian terpadu di dalam sistem peradilan pidana.
Dalam bukunya pula, mengenai penggunaan istilah
Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Prof.Dr.
Muladi,SH menyatakan kesetujuannya dalam penggunaan istilah
tersebut apabila penyebutan istilah tersebut diarahkan untuk lebih memberikan
tekanan, agar supaya integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab
fragmentasi dalam sistem peradilan pidanan mampaknya merupakan disturbing issue di berbagai Negara.[6]
[1] Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
1995. Hal. 1.
[2] Romli Atmasasmita, Sistem
Peradilan Pidana, Binacipta, 1996. Hal. 9.
[3] Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana, ibid, hal. 1.
[4] Yesmil Anwar, S.H. , M.Si. dan Adang, S.H. ,M.H. ,Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen,
dan Pelaksanaannya dalam penegakan hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran,
2009. Hal.36.
[5] Ibid. hal. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar