A. Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 18
Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesiadalam dua kurun waktu,
yaitu yang pertama sejak ditetapkannya oleh Panitia, Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945 diberlakukan surut mulai tanggal 17
Agustus 1945, sampai denga]L mulai berlakunya Konstitusi ,RIS pada saat
pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Yang kedua adalah dalam
kurun waktu sejak diumumkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 hingga
sekarang, dan ini terbagi pula atas masa Qrde Lama dan Orde Baru.
Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu kita
telah mencatat pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan
Undang-Undartg Dasar 1945 itu.
Kurun waktu 1945
– 1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik;
karena. kita memang sedang dalam masa pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan
kemerdekaan yang baru saja kita proklamasikan, sedangkan pihak kolonial
Belandajustru ingin menjajah kembali, bekas jajahannya yang telah merdeka.
Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan Perang
Kemerdekaan.
Sistem pemerintahan
dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang¬Undang Dasar 1945 jelas belum
dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat Anggota DPA
sementara, sedangkan MPR’ dan DPR belum dapat dibentuk. Waktu itu masih terus
diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasalIV yang menyatak:an bahwa:
“SebelumMajelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk’ inenurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaarinya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Kornite Nasional”.Ada dua
penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945 – 1949
itu, yakni:
a) berubahnya
fungsi Kornite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut’ menetapkan garis-garis besar dari pada
haluan negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober,
1945.
b) perubahan
sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Berdasarkan usul Badan
Pekerja Kornite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 Nopember 1945,
yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerirttah
tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Pre.sidensi~l berdasarkan UUD 1945
diganti dengan sistem Kabinet Parlementer.
Sementara itu,
pada tan’ggal 3 Nopember 1945 atas usul BP-KNIP, Pemerintah ‘mengeluarkan suatu
Maklurnat, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, tentang pembentukan
partai-partai politik. Tujuan Pemerintah ialah agar dengan adanya partai-partai
itu dapat dipimpin segala aliran paham yang ada di rnasyarakat ke jalan yang
teratur.Sejak tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan ‘pemerintahan (eksekutif)
dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri
sebagai anggota Kabinet. Secara bersarna-sama. atau sendiri-sendiri Perdana
Menteri dan/atau para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, yang berfungsi
sebagai DPR, tidak bertanggungjawab kepada Presiden seperti yang dikehendaki
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem inijelas l”engaruh
negatifnya terhadap stabilitas politik dan sta~ilitas pemerintahan.
Perlu diketahui,
bahwa dalam masa revolusi fisik tahun 1945 – 1949 itu sistem pemerintahan kita
sering berubah dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer dan
sebaliknya. Namun perlu diingat, bahwa setiap kali negara dalam keadaan gentiDg
kita senantiasa kembali kepada sistem presidensial.
Berkat kebulatan
tekad seluruh rakyat waktu itu untuk terus beIjuang menegakkan kemerdekaan,
maka dengan naungan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun telah terjadi penyimpangan akhimya
bangsa Indonesia dapat meglenangkan Perang Kemerdekaan. Akhimya Belanda
mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun kita, fihak “Republik Proklarnasi”
terpaksa menerima beidirinyaNegara Indonesia yang lain dari yang kita
proklarnasikan ‘pada tanggal 17 Agustus 1945 dan didirikan berdasarkan
UndanfUndang Dasar 1945 yang kita tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.Negara
Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi negara Federasi Republik
Indonesia’ Serikat .(RIS),• berdasarkan pada Konstitusi RIS dengan IT. Soekamo
sebagai Ptesidennya. Undang-Undang Dasar 1945 berlaku hanya di Negara Bagian RI
yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan ibukota Yogyakarta. ‘
B. Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 27 Desenber 1049 s/d 17 Agutsu 1950
Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) merupakan Konstitusi yang kedua dari Negara kita dan
berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, jadi lebih
kuranghanya delapan bulan. Rancangan Konstitusi itu disepakati bersarna di
negara Belanda antara wakil-wakil pemerintah Republik Indonesia dengan
wakil-wakil pemerintah “negara” BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg),
negara-negara buatan Belanda di luar’RI. Ini terjadi di kota pantai
Scheveningen tanggal29 Oktober 194 9, pada saat berlangsungnya Konperensi Meja
Bundar.Pada tanggal’ 14 Desember 1949 di Jakarta disetujui rancangan tersebut
oleh wakil-wakil pemerintah dan KNIP Republik Indonesia dan wakil masing-masing
pemerintah dan Dewan-dewan Perwakilan Rakyat negara-negara BFO. ‘
Akhirnya dalam
sidang lanjutan pada konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda,
Rancangan Konstitusi RIS tersebut disetujui oleh semua pihak.
Penyimpangan konstitusi pada masa ini antara lain dengan berubahannya bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi (negara serikat), yakni negara yang memiliki negara-negara bagian. Untunglah negara federasi RIS hanya berlangsung sangat singkat. Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat terasa desakan-desakan untuk menjadikan RIS kembali menjadi Negara Kesatuan. Desakan itu terutama datang dari, daerah-daerah yarig merasa tidak puas dengan terbentuknya negara federalhasil KMB secta ingin bergabung dengan Rebulkik Indonesia (Yogyakarta). Pembubaran dan penggabungan negara-negara bagian itu memang dimungkinkan oleh Konstitusi RIS Pasa1 43 dan 44.
Penyimpangan konstitusi pada masa ini antara lain dengan berubahannya bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi (negara serikat), yakni negara yang memiliki negara-negara bagian. Untunglah negara federasi RIS hanya berlangsung sangat singkat. Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat terasa desakan-desakan untuk menjadikan RIS kembali menjadi Negara Kesatuan. Desakan itu terutama datang dari, daerah-daerah yarig merasa tidak puas dengan terbentuknya negara federalhasil KMB secta ingin bergabung dengan Rebulkik Indonesia (Yogyakarta). Pembubaran dan penggabungan negara-negara bagian itu memang dimungkinkan oleh Konstitusi RIS Pasa1 43 dan 44.
Sejarah menunjukkan
bahwa pada bulan April 1950 tinggal negara bagian Indonesia Timur dan Sumatera
Timur saja1ah yang belum bergabung dengan ‘negara. RI Yogyakarta. Akhimya
tercapailah kata sepakat antara negara RI Yogyakarta dan negara RIS, yang
sekaligus mewakili negara Bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur untuk dalam
waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama mendirikan satu negara .kesatuan.
Persetujuan
tersebut secara resmi dimuat dalam suatu Piagam Persetujuan tang gal 19 Mei
1950. Proses selanjutnya adalah membuat rancangan peruQahan konstitusi RIS
menjadi UUDS. Republik Indonesia oleh pihak RIS dan Negara Republik Indonesia
(Yogyakarta). Pada tanggal 15 Agustus 1950 di depan rapat. gabungan senat dan
DPR-RIS, Presiden menyatakan bahwi\ rancangan perubahan tersebut telah
disetujui oleh pihak RIS dan negara RI Yogyakarta dan karena ,itu naskah UUD
(Sementara) itu telah ditandatangani olehnya bersama Perdana Menteri dan
Menteri Kehakiman RIS serta kemudian diumumkan oleh M’enteri Kehakiman dan
berlaku mulai tailggal 17 Agustus 1950.
C. Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 17 Agutus 1950 s/d 5 Juli 1959
Pada tanggal 17
Agustus 1950, negara federasi RIS kembali menjadi Negara Kesatuan RI, tetapi
dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari Undang-Undang Dasar 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Dasar
Sementara yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
(1950). Ini merupakan Konstitusi kita yang ketiga. penyimpang konstitusi pada
masa ini adalah:
1) perubahan sistem kabinet presidential menjadi
sistem kabinet parlementer. Menurut Undang-Undang Dasar baru ini sistem
pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer bukan sistem
kabinet presidensial. Menurut sistem pemerintahan parlementer itu Presiden dan
Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan “tidak dapat diganggu
gugat”. Yang bertanggung jawab adalah para Menteri kepada Parlemen (DPR).
2) Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang
mtmganut sistem parlementer, berpijak pada landasan pernikiran demokrasi
liberal yang me.ngutamalcan pada kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang
Dasar 1945 menganut sistem presidensial berpijak pada landasan Demokrasi
Pancasila, yang berintikan’ kerakyatan’ yang dipimpiil oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Presiden bertanggtung jawab
kepada pemberi mandat,MRR,tidak kepada DPR.
Pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 dan akibatnya jelas telah kita saksikan bersama, berupa
kekacauan, balk di bidang politik, keamanan, maupun ekonorni.Sebabnya ialah
sistem Kabinet Parlemehter yang dianut UUDS 1950 menyebabkan tidak tercapainya
stabilitas politik dan pemerintahan dikarenakan sering bergantinya kabinet yang
didasarkan kepada dukungan suara di Parlemen. Dan tahun 1950 s/d 1959 telah
terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali yang dengan sendirinya
menggambarkan; bahwa program dari suatu kabinet tidak dapat dilaksanakan secara
baik dan berkesinambungan. Oleh karena itulah pada waktu itu telah timbul
pendapat-pendapat dalam masyarakat agar kita kembali saja kepada sistem kabinet
presidensial, seperti yang termuat di dalam UUD Proklamasi.
Pada
bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pernilihan umum, rnasing-masing
untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Konstituante.
Tugas Konstituante adalah untuk membuat suatu Rancangan Undang-Undang Dasar
sebagai pengganti UUDS .1950, yang menurut Pasal 134 akan ditetapkan
selekas-Iekasnya bersama-sama dengan pemerintah.Untuk mengambil putusan
mengenai Undang-Undang Dasar maka Pasal 137 UUDS1950 menyatakati bahwa :
1.
Untuk mengambil putusan tentang
Rancangan Undang-Undang Dasar baru jlka sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota
konstituannte harus hadir;
2.
Rancangan tersebut diterirna jika
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 . dari jumlah anggota yang hadir;
3.
Rancangan yang telah diterima oleh
Konstituapte dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah;
4.
Pemerintah harus mengesahkan rancangan
itu dengari segera serta mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan
keseluruhan.
Lebih
dari dua tahun bersidang Konstituante belum berhasil merumuskan Rancangan
Undang-Undang Dasar baru. Perbedaan pendapat yang telah menjadi
perdebatan-perdebatan di dalam gedung Konstituante mengenai dasar negara telah
menjalar ke luar gedung Konstituante dan yang diperkirakan pula akan
menimbulkan ketegangan-ketegangan politik dan fisik di kalangan masyarakat.
Dalam suasana seperti itu Presiden dalam pidatonya di depan sidang Konstituante
tanggal 22 April 1959 menyarankan “marilah kita kembali kepada Undang-Undang
Dasar 1945″.
Saran untuk kembali kepada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat diterima oleh para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang berbeda”.
Saran untuk kembali kepada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat diterima oleh para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang berbeda”.
Pertama,
menerima saran kembali kepada UUD 1945 suara utuh, dan kedua menghendaki
kembalinya kepada UUD 1945 dengan suatu amandemen, yakni dimasukkannya lagi
tujuh kata “dengan kewajiban rrienjalan¬kan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, pada sila pertama Pancasila dibelakang “kata Ketuhanan”
seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945.Karena
tidak memperoleh kemufakatan antara pandangan- pandangan yang berbeda itu, maka
Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali
ke UUD 1945.
Pertama-tama
diadakan Pemungutan suara terhadap usul amandemen, dan dilaksanakan tanggal 29
Mei 1959. Usul amandemen itu tidak memperoleh .suara dua pertiga dari anggota
yang hadir. Anggota yang hadir waktu itu 470 Orang, sedangkan yang menyetujui
usul amandemen 201 orang dan yang tidak menyetujuinya 265 orang.
Selanjutnya
dilaksanakan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD
i94S. Pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali.Tanggal 30 Mei 1959 diadakan
pemungutaIi suara yang pertama dengan hasil 269 suara setuju dan 199 suara
menolak. Karena persyaratan formal, yaitQ 2/3 dari jumlah anggota yang hadir
sesuai dengan ketentuan pasal 137 UUDS 1950 tidak tefllenuhi, maka tanggal 1
Juni 1959 diselenggarakan pemungutan suara yang kedua. Hasilnya adillah 264
suara setuju menerima usul untuk kembali ke UUD 1945 dan 204 uara menolak, yapg
jugatidak memenuhi kourum.
Pemungutan
suara ketiga dilangsungkan tanggal 2 Juni 1945 dan secara rahasia dengan hasil
263 suara setuju dan 203 menolak, sehingga persyaratan formal juga tidak dapat
dipenuhi.Sesuai dengan tata tertib Konstituante yang ditentukan, bahwa
pemungutan suara untuk amandemen dilakukan satu kali, dan kepada materi baru
dilakukan sebanyak tiga kali. Dengan demikian menunjukkan bahwa usul
Pemerintahuntuk kembali kepada UUD 1945 tidak mendapat persetujuan dari lembaga
Konstituante meskipun telah disetujui oleh lebih dari setengah anggotanya .
Sehari setelah pemungutan suara
yang ketiga kalinya itu, Konstituante menjalani reses. Selama reses itu lebih
dari separoh anggota Konstituante meriyatakan, bahwa setelah reses nanti mereka
tidak akan menghadiri Sidang lagi. Ini berarti bahwa Konstituante gagal dalam
tugasnya untuk menetapkan UUD yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Keadaan
itu dianggap oleh Presiden sebagai keadaaan yang dapat membahayakan keselamatan
dan keutuhan bangsa dan negara.
D. Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959
s/d 1998
Dalam keadaan yang menurut
pandangan Kepala Negara (presiden) menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa. Maka Presiden
mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Tindakan Presiden mengeluarkan
Dekrit tersebut dibenarkan berdasarkan hukum darurat negara (staatsnoodrecht).
Berdasarkan alasan yang kuat seperti dikemukan di atas, dan dengan dukungan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, dikeluarkanlah Dekrit oleh Presiden pada tanggal 5 Juii 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.Diktum Dekrit Presiden itu adalah :
Berdasarkan alasan yang kuat seperti dikemukan di atas, dan dengan dukungan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, dikeluarkanlah Dekrit oleh Presiden pada tanggal 5 Juii 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.Diktum Dekrit Presiden itu adalah :
1.
Menetapkan pembubaran Konstituante;
2. Menetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai¬hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan
tidak berlakunya lagi Undang¬Undang Dasar Sementara 1950;
3. Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agurtg Sementara, akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.Dekrit itu
dibacakan-secara lisan oleh Presiden di Istana Merdeka pada tanggal 5 Juli
1959, hari Minggu pukul 17 .00 waktu Jawa. Dekrit itu kemudian diumumkan dengan
Keputusan Presiden NO.150 tahun 1959 yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia NO.75 tahun 1959. Pada Lembaran Negara itu dilampirkan satu naskah
Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun
esensinya sama, namun lampiran pada Lembaran Negara NO.75 tahun 1959 itu tidak
seluruhnya sama bunyinya dengan naskah Undang- Undang Dasar 1945 yang
ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dimuat dalam berita
Republik Indonesia Tahun II NO.7 tanggal 15 Pebruari 1946. Karena salah satu
diktum Dekrit jelas menyatakan “Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …. ” maka yang
dimaksud adalah naskah Undang-Undang Dasar yang ditetapkan oleh PPKI dan dimuat
dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7.
Adapun
naskah sebagai lampiran Keputusan Presiden No.150 tahun 1959 yang dimuat dalam
lembaran Negara No. 75 tahun 1959 itu pada hakikatnya berfungsi sebagai
kelengkapan dalam mengumumkan secara tertulis Dekrit Presiden itu.Sejak 5 Juli
1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak pengalarnan yang kita
peroleh dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila diadakan perbandingan
mengenai pelaksanaan Undang- Undang Dasar 1945 untuk kurun waktu antara 1959 –
1965 (Orde Lama) dan kurun waktu 1966 hingga kini (Qrde Baru), maka jelas
terlihat serta dirasakan kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam Orde Lama,
lembaga-Iembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk
berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam Undang-Und/lIlg Dasar
1945; lembaga-Iembaga negara tersebut masih “dalam bentuk• sementara. Belum
lagi jika kita mengupas ‘tentang berfungsinya lembaga-Iembaga negara tersebut
telah sesuai ‘atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 .
Beberapa
penyimpangan konstitusi sejak tahun 1959 (orde lama) sampai dengan lahirnya
Orde Baru antara lain:
1. Pada
masa Orde Lama itu Presiden, selaku’ pemegang kekuasaan eksekutif, dan pemegang
kekuasaan legislatif — bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat — telah
menggunakan kekuasaannya dengan tjdak semestinya. Presiden telah mengeluarkan
produk legislatif yang pada hakikatnya adalah Undang-undang (sehingga sesuai
UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk penetapan Presiden, tanpa
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. MPRS,
dengan Ketetapan NO.I/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang beIjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”
yang lebih dikenal dengan
3. Manifesto
Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap, yang jelas
bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
4. MPRS
telah mengambil putusan untuk mengangkat Ir. Soekamo sebagai Presiden seumur
hidup. Hal ini bertentangan dengan keten¬tuan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menetapkan masa jabatan Presiden,lima tahun.
5. Hak
budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak
mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR
sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam tahun 1960,
karena.DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang
diajukanoleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR basil
Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR.
6. Pimpinan
lembaga-Iembaga negara dijadikan menteri-menteri negara sedangkan Presiden
sendiri menjadi ketua D”PA, yang semuanya tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945.
Inilah beberapa
contoh kasus penyimpangan konstitusional yang serius terhadap pelaksanaan
Undang-Dasar 1945 . Penyimpangan ini jelas bukan saja telah mengakibatkan tidak
berjalannya sistem yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
melainkanjuga telah mengakibatkan membu:ruknya keadaan politik dan keamaan
serta terjadinya kemerosotan di bidang ekonomi yang mencapai puncaknya dengan
pemberontak¬an G-30-S. PKL Pemberontakan G-3Q-S PKI yang dapat•digagalkan berkat
kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat telah mendorong
lahimya Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
E. Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Orde Baru yang lahir dengan tekad untuk
melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen;
ternyata tidak mampu melakukannya. Bahkan pada masa Orde Baru ini telah pula
terjadi penyimpangan konstitusional, diantaranya:
1) Pembatasan
hak-hak politik rakyat Sejak tahun 1973 jumlah parpol di Indonesia dibatasi
hanya 3 buah saja (PPP, Golkar, dan PDI). Pertemuan-pertemuan politik harus
mendapat ijin penguasa. Pers dinyatakan bebas, tetapi pemerintah dapat
membreidel penerbitan pers (Tempo, Edi¬tor, Sinar Harapan dan lain-lain). Para
pengeritik pemerintah dikucilkan secara politik, atau bahkan diculik. Pegawai
Negeri dan ABRI diharuskan mendukung partai penguasa, Golkar. Hal-hal tersebut
di atas bertentangan dengan UUD 1945 terutama dalam kaitannya dengan
pasal-pasal yang berkenaan dengan Hak-hak Asasi Manusia
2) Pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Walaupun secara formal
lembaga negara (MPR, DPR, MA, dan lain-lain) mempunyai fungsi yang semestinya,
namun dalam praktek melalui mekanisme politik tertentu Presiden dapat
mengendalikan berbagai lembaga negara di luar dirinya.
sumber dari diktat kuliah Hukum Konstitusi Magister Ilmu Hukum Universitas Semarang ;Dosen pengampu Dr.Kadi Sukarna,S.H.,M.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar