Dalam penerapan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) sendiri, hanya dikenal istilah barang palsu untuk menyebut barang-barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan dengan menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain. Ancaman pidana bagi produsen barang palsu tersebut adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 90 dan Pasal 91 UU Merek).
Selain
 dapat menjerat pihak-pihak yang beriktikad buruk memproduksi dan/atau 
memperdagangkan barang palsu, UU Merek juga dapat dipergunakan untuk 
menjerat pihak-pihak yang memperdagangkan barang yang diketahui 
atau patut diketahui bahwa barang tersebut merupakan hasil pelanggaran 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 tersebut di atas. Pidananya berupa 
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (Pasal 94 UU Merek). 
Sanksi
 hukum dalam UU Merek yang saat ini berlaku memang tidak menjangkau 
konsumen pembeli barang palsu. Secara eksplisit UU Merek juga menyebut 
seluruh tindak pidana penggunaan merek terdaftar oleh para pihak 
beriktikad buruk tersebut sebagai ‘Pelanggaran’, bukan ‘Kejahatan’ (lihat Pasal 94 ayat [2] dan Pasal 77 UU Merek). 
Pemalsuan Merek merupakan Delik Aduan
Dan
 secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh 
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan,
 bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa 
pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan setelah adanya laporan 
dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait
 delik aduan pun penyidikan kepolisian dapat dihentikan hanya dengan 
adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum
 diperiksa di pengadilan.
Dalam
 menilai sebuah barang merupakan barang palsu atau bukan di mata hukum 
pun polisi tidak dapat melakukannya secara sepihak. Dalam sistem 
perlindungan hak merek yang saat ini dianut oleh Indonesia, yakni sistem
 First to file, ‘pelanggaran merek’ hanya terjadi apabila ada 
tindakan-tindakan penggunaan merek terdaftar oleh pihak-pihak beriktikad
 buruk yang dilakukan dalam masa perlindungan atas merek yang 
bersangkutan sebagaimana tertera dalam sertifikat pendaftaran mereknya. 
Tidak ada pelanggaran tanpa pendaftaran merek karena dalam sistem First to file,
 perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemilik pendaftaran merek. 
Pelapor harus mampu menunjukkan sertifikat merek atau alas hak lainnya 
yang sah pada saat melakukan pelaporan atas suatu tindak pidana merek.
Selain
 harus mampu menunjukkan bukti kepemilikan merek yang sah, si pelapor 
harus mampu menunjukkan kepada kepolisian perbedaan-perbedaan antara 
barang asli dan barang palsu secara jelas. Hal ini tentu saja untuk 
menghindari penegak hukum melakukan kekeliruan dalam menangkap dan 
memproses pidana para pelaku pelanggaran merek.
Dasar hukum:      Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar