STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
(SOP)
TENTANG
PENANGKAPAN
DILINGKUNGAN
DIT RESKRIMSUS POLDA LAMPUNG
1.
Pengertian
Penangkapan
adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang.
2.
Ketentuan
Hukum
a.
Pasal
1 butir 2 KUHAP merupakan penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan penyidikan.
b.
Pasal
1 butir 20 KUHAP merupakan penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan penangkapan.
c.
Pasal
7 ayat (1) huruf d dan Pasal 16 KUHAP tentang wewenang Penyidik/Penyidik
Pembantu dalam hal penangkapan dan Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik
atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
d.
Pasal
17 KUHAP tentang Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
e.
Pasal
18 KUHAP tentang Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas
kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah pengkapan yang mencantumkan
identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa,Kecuali dalam
hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan terangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
f.
Pasal
19 KUHAP tentang Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat
dilakukan untuk paling lama satu hari,Terhadap tersangka pelaku pelanggaran
tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ini ia telah dipanggil secara sah
dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
g.
Pasal
18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia,
(ayat 1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertidak menurut penilaiannya
sendiri, (ayat 2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku dan Kode Etik Profesi Polri”
h.
Pasal 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41 dan 42
Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak
pidana.
3.
Batas
waktu Penangkapan
Berdasar
ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP, telah ditentukan batas waktu lamanya
penangkapan, tidak boleh lebih dari “satu hari”. Lewat dari satu
hari, berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya
penangkapan dianggap “tidak sah”. Konsekuensinya, tersangka harus “dibebaskan
demi hukum”. Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat
hukumnya, atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada praperadilan
tentang sah atau tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.
Mengenai pembatasan masa penangkapan yang singkat ini,
dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan dalam praktek, disebabkan beberapa
factor. Antara lain factor “geografi” yang dijumpai pada beberapa tempat di
kepulauan Indonesia seperti daerah Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan, tidak
mungkin diselesaikan dalam satu hari mulai dari tindakan penangkapan dan
seterusnya dilanjutkan dengan pemeriksaan pada hari itu juga. Coba bayangkan
bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika penangkapan dilakukan pada pulau
terpencil lantas tempat kedudukan penyidik/penyidik pembantu terletak di pulau
lain yang harus ditempuh dalam waktu seminggu atau sebulan dengan sampan atau
perahu kecil. Atau bagaimana mungkin hal ini dapat dilaksanakan didaerah yang
sama sekali tidak ada saran komunikasi dan transportasi? Disana antara suatu
desa dengan ibukota kecamatan tempat kedudukan penyidik pembantu, harus
ditempuh berminggu-minggu. Barangkali hambatan geografis dan komunikasi bukan
hanya terdapat didaerah yang disebut diatas. Untuk mengatasi hambatan
permasalahan ini, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyelidikan
atau penyidikan, tapi sekaligus tidak melanggar hukum, dapat disetujui
alternatif yang digariskan pada buku pedoman KUHAP yang memberi jalan keluar
atas hambatan tersebut:
a.
Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin
oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat yang
terdekat;
b.
Apabila penangkapan dilakukan oleh penyelidik, pejabat
penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyelidik untuk membawa dan
menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.
Apabila orang itu melawan perintah dan diperlukan upaya
paksa, bisa dilakukan pembatasan tertentu, misalnya membawanya dengan diborgol.
Jadi, yang dikeluarkan oleh penyidik jangan perintah penangkapan, melainkan
surat perintah membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik (Pasal 5 ayat
(1) huruf b angka 4 KUHAP).
Alternatif yang digambarkan diatas, jika tersangka yang
hendak ditangkap bertempat tinggal di daerah yang sangat terpencil dan sarana
tempat itu tidak memungkinkan untuk membawa tangkapan pada hari itu juga,
sebaiknya dipergunakan dulu ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 4 KUHAP, yakni penyidik
mengeluarkan perintah kepada petugas Polri untuk membawa dan menghadapkan
tersangka ke hadapan penyidik. Surat perintah penangkapan baru dikeluarkan
setelah tersangka berada di hadapan penyidik.
Tetapi, alternatif inipun mengandung kesulitan,
sehubungan dengan masalah kewajiban penyidik untuk menyampaikan tembusan surat
perintah penangkapan kepada keluarga tersangka. Sebab pemberian tembusan surat
penangkapan menurut Pasal 18 ayat (3)
KUHAP harus diberikan segera setelah
penangkapan dilakukan. Berarti pada saat dikeluarkan surat penangkapan,
keluarga tersangka harus mendapat tembusan. Dan rasio keharusan penyampaian
tembusan itu dengan segera, dimaksudkan agar pada saat dilakukan penangkapan
sudah tahu kemana dan dimana tersangka dibawa dan diperiksa. Jadi, alternatif
yang kita kemukakan sama sekali belum bisa menghilangkan hambatan secara
tuntas. Namun demikian alternatif itulah jalan tengah yang paling dapat
dipertahankan dari segi hukum dan kepastian hukum.
4.
Alasan
Penangkapan
Mengenai
alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP:
a.
Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana,
b.
Dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti
yang cukup.
Yang dimaksud dengan bukti
permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak
pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Selanjutnya penjelasan Pasal 17 KUHAP menyatakan:
”Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan
tindak pidana”.
Pengertian “bukti permulaan yang cukup” dari pendekatan
teori dan praktek, masih dapat diperdebatkan. Sekalipun pengertian permulaan
bukti yang cukup dicoba mengaitkan dengan bunyi penjelasan Pasal 17 KUHAP maupun
pengertian itu dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP, masih belum mampu
memberi pengertian yang jelas dan mudah ditangkap. Sebab apa yang dijelaskan
pada Pasal 1 butir 14
KUHAP, hanya berupa ulangan dari bunyi penjelasan Pasal 17 KUHAP. Atau
sebaliknya, pengertian permulaan bukti yang terdapat pada Pasal 17 KUHAP hanya merupakan
ulangan dari Pasal 1 butir 14
KUHAP.
Sebagai pegangan, tindakan penangkapan baru dapat
dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu: “diduga keras melakukan tindak
pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Mengenai apa
yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang
menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari
cara penerapan demikian, bisa menimbulkan “kekurangpastian” dalam praktek hukum
serta sekaligus membawa kesulitan bagi Praperadilan untuk menilai tentang ada
atau tidak permulaan bukti yang cukup.
Syarat lain, untuk melakukan penangkapan harus didasarkan
untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal
16 KUHAP. Oleh
karena penangkapan juga dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan, mesti tetap
ditegakkan prinsip: harus ada dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku
tindak pidananya, serta harus didahului adanya bukti permulaan yang cukup. Juga
penting untuk diingat, supaya alasan untuk kepentingan penyelidikan dan
kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud lain diluar kepentingan
penyelidikan dan penyidikan.
5.
Persiapan
Dalam hal
Penyidik/Penyidik Pembantu akan melakukan penangkapan, maka terlebih dahulu harus :
a.
Menyiapkan/Menerbitkan
:
1)
Surat
Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
serta tempat ia diperiksa.
2)
Dalam
hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
3)
Penangkapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP, dapat dilakukan untuk paling lama
satu hari .
4)
Surat
Perintah Penangkapan dibuat secara sah dan jelas dengan menyebutkan
pertimbangan,dasar, alasan penangkapan secara jelas, waktu
penangkapan,identitas tersangka,Uraian perkara dan pasal yang dilanggar,waktu
penangkapan,tempat / kantor pejabat
penyidik yang melakukan penangkapan dan ditanda tangani oleh pejabat
penyidik yang berwenang.
5)
Surat
Perintah Penyidikan yang sah yang memuat pertimbangan, dasar, pejabat
penyidik/penyidik pembantu yang akan melakukan penyidikan tindak pidana, uraian
perkara dan ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
6)
Surat Perintah Tugas yang sah yang memuat pertimbangan, dasar,
pejabat penyidik/penyidik pembantu yang akan melakukan penyidikan tindak
pidana,uraian perkara dan ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
7)
Surat
Perintah Penangkapan dibuat 7 (tujuh) rangkap dengan rincian 1(satu) rangkap
untuk tersangka, 1 (satu) rangkap keluarga tersangka atau pengacaranya, 1
(satu) Rangkap untuk Ketua Lingkungan Domisili tersangka, 1(satu) rangka untuk
Arsif dan 4 (empat) rangkap untuk
Kelengkapan Berkas Perkara
8)
Wewenang penandatangan surat perintah penangkapan
dilingkungan Ditreskrimsus Polda Lampung sebagaimana point 7) tersebut diatas
dilaksanakan oleh pejabat Kasubdit
selaku Penyidik. Apabila pejabat dimaksud berhalangan maka wewenang
penandatangan dilaksanakan oleh pejabat Dir Reskrimsus selaku Atasan
Penyidik.
b.
Tata
cara Penangkapan
1)
Penangkapan dengan Surat Perintah Penangkapan
a)
Penangkapan
dapat dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu yang namanya tercantum dalam
Surat Penangkapan.
b)
Apabila
Penangkapan dilakukan oleh Penyelidik atas Perintah Penyidik, maka penangkapan
selain dengan Surat Perintah Penangkapan juga harus dilengkapi dengan Surat
Perintah Tugas dari Penyidik yang memerintahkan.
c)
Penangkapan
dikenakan terhadap seseorang yang namanya/identitasnya tercantum didalam Surat
Perintah Penangkapan.
2) Cara-cara
pelaksanaan Penangkapan sebagai berikut :
a)
Penyidik/Penyidik
Pembantu yang melakukan penangkapan memberikan 1 (satu) lembar Surat Perintah
Penangkapan Kepada Tersangka.
b)
Penyelidik
yang akan melakukan penangkapan atas perintah Penyidik, terlebih dahulu
menunjukkan Surat Perintah Tugas, kemudian memberikan 1 (satu) lembar Surat
Perintah Penangkapan kepada tersangka.
c)
Satu
lembar Surat Perintah Penangkapan diberikan kepada keluarga tersangka segera
setelah dilakukannya penangkapan terhadap tersangka.
d)
Setiap
kali melakukan penangkapan harus dibuat Berita Acara Penangkapan sebanyak 7 (tujuh) lembar yang ditanda
tangani oleh penyidik/penyidik pembantu/Penyelidik yang melakukan penangkapan
dan oleh orang yang ditangkap.
e)
Sesudah
atau sebelum dilakukannya penangkapan, sebaiknya memberitahukan kepada Kepala
Desa/lingkungan dimana tersangka tersebut yang akan ditangkap itu betempat
tinggal/berdiam.
f)
Penangkapan
yang dilakukan diluar wilayah hukum suatu kesatuan agar memberitahu/menghubungi
atau dilaksanakan bersama-sama dengan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditunjuk
oleh kepala kesatuan Daerah Hukum dimana penangkapan dilakukan.
g)
Dalam
melakukan penangkapan terhadap orang yang berada didalam rumah atau tempat
tertutup lain, dapat dilakukan sebagai berikut :
(1)
Diusahakan
ditunggu sampai tersangka keluar dari dalam rumah dan penangkapan dapat
dilakukan diluar rumah.
(2)
Dalam
hal tersangka tidak mau keluar rumah, maka diusahakan terlebih dahulu untuk
mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sekurang-kurangnya
dengan lisan (dapat melalui telepon).
h)
Dalam
hal usaha/untuk mendapatkan izin tidak memungkinkan, sedangkan tersangka tidak
akan mau keluar dari dalam rumah dan dikhawatirkan bahwa tersangka akan
melarikan diri, maka atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan,
Penyelidik, penyidik atau penyidik pembantu dapat melakukan tindakan lain yaitu
memasuki rumah/tempat tertutup dengan cara-cara sebagi berikut :
(1)
Dalam
memasuki rumah/tempat-tempat tertutup tersebut supaya diusahakan
langkah-langkah sebagai berikut :
(a)
Diusahakan
supaya tersangka keluar menemui Penyelidik, Penyidik atau Penyidik Pembantu
(petugas) yang memasuki rumah/tempat tertutup tersebut.
(b)
Jelaskan
kepada tersangka apa sebabnya akan dilakukan penangkapan atas dirinya. Untuk
itu supaya diperintahkan kepada tersangka supaya mengikuti perintah petugas
agar menyerahkan diri guna dibawa ke kantor Polisi.
(c)
Dalam
hal tersangka tetap tidak mau keluar/tetap bersembunyi, maka Petugas/Kepala
tim supaya memberikan peringatan dengan
kata-kata yang dapat didengar oleh tersangka sebagi berikut : “Atas nama Undang-Undang, saya perintah
kepada saudara untuk menyerahkan diri”.
(d)
Bila
perintah pertama tersebut tidak dipatuhi/diindahkan, maka supaya diulang dengan
perintah kedua. Apabila juga tetap tidak mengindahkan supaya diulang dengan
perintah ketiga.
(e)
Apabila
perintah ketiga juga tetap tidak diindahkan maka petugas dengan paksa melakukan
penangkapan terhadap tersangka, karena telah melawan perintah petugas yang
melaksanakan tugas jabatannya yang sah (Pasal 216 KUHP).
(2)
Dalam
hal usaha untuk memasuki rumah, tersangka/penghuni tidak mau membukakan pintu
dan ada tanda-tanda akan adanya perlawanan maka :
(a)
Kepala
tim yang akan melakukan penangkapan mengatur posisi petugas-petugas untuk
mengadakan pengamanan dan pengawasan agar tersangka tidak meloloskan diri,
antara lain dengan menutup/menjaga semua jalan keluar.
(b)
Kepala tim memberikan peringatan dengan
kata-kata yang dapat didengar oleh tersangka, memerintahkan agar tersangka
menyerahkan diri.
(c)
Apabila
tersangka tidak memenuhi perintah, maka
:
-
Kepala
tim memerintahkan sekali lagi kepada tersangka agar keluar dan menyerahkan
diri.
-
Dalam
hal perintah tersebut tidak diindahkan juga, kepala tim memberikan peringatan
terakhir.
-
Apabila
peringatan tetap tidak diindahkan, petugas berusaha memasuki rumah dengan upaya
paksa selanjutnya melakukan penangkapan.
(3)
Petugas
agar lebih berhati-hati dan dengan kesiagaan yang tinggi melakukan tindakan
memasuki rumah dengan memperhatikan teknik dan taktik pengepungan dan
penggerebegan rumah.
Pelaksanaan penggerebegan
dilaksanakan sebagai berikut :
(a)
Dengan
syarat dari Kepala Tim memerintahkan petugas (minimal 2 orang) yang telah ditunjuk mendobrak pintu. Setelah
pintu terbuka, pendobrak segera mengambil
posisi ditempat yang terlindungi disisi pintu bagian luar sambil
menunggu reaksi.
(b)
Jika
orang yang akan ditangkap menampakkan diri dan keluar dengan sikap menyerah
segera dilakukan penangkapan dan langsung dilakukan penggeledehan pakaian dan badannya kemudian diborgol.
(c)
Apabila
tetap tidak ada reaksi (tanda-tanda) untuk menyerah, lemparkan suatu benda
kedalam untuk memancing reaksi.
(d)
Apabila
tidak ada reaksi, atas isyarat dari Kepala tim kedua petugas pendobrak memasuki
rumah dengan cara posisi sedemikian rupa serta sikap menembak agar dapat
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi sehingga penangkapan berhasil.
(e)
Petugas
dalam hal terpaksa dapat melakukan penembakan sesuai dengan kepentingan hukum
yang dibela karena ada perlawanan bersenjata, maka penembakan yang diarahkan
pada bagian tubuh yang mematikan.
i)
Penangkapan ditempat ramai dan terbuka
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
(1)
Berusaha
membuntuti orang yang akan ditangkap dan setelah sampai ditempat yang sepi baru
dilakukan penangkapan.
(2)
Apabila
cara tersebut tidak mungkin dilakukan, maka penangkapan harus dilakukan secara
cepat dengan menyergapnya tanpa membahayakan dan menimbulkan kepanikan khalayak
ramai.
(3)
Setelah
ditangkap segera diborgol sesuai dengan petunjuk membawa tahanan.
j)
Dalam hal penangkapan terpaksa dilakukan ditempat
gelap (malam hari), maka dilakukan cara-cara sebagi berikut :
(1)
Terlebih
dahulu melemparkan suatu benda untuk memancing reaksi orang yang akan
ditangkap.
(2)
Jika
petugas mempergunakann lampu senter jangan dipegang erat tepat didepan badan,
tetapi disamping badan sejauh mungkin.
k)
Apabila
orang yang akan ditangkap dalam keadaan sakit keras, maka atas hasil pengamatan
petugas bila perlu dengan nasehat dokter, petugas mengambil langkah-langkah
sebagai berikut :
(1)
Melaporkan
tentang keadaan orang yang akan ditangkap kepada Kepala Kesatuan atau Penyidik
yang mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan.
(2)
Petugas
menyampaikan perintah penyidik yang mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan kepada
orang yang akan ditangkap/keluarganya, antara lain :
(a)
Tetap
tinggal dirumah, atau
(b)
Apabila
sedang dirawat di rumah sakit, tetap tinggal dirumah sakit, dengan pengawasan
petugas Polri dan jaminan tidak
melarikan diri dari keluarganya.
l)
Apabila orang yang akan ditangkap memungkiri
identitas seperti yang tercantum dalam Surat Perintah Penangkapan, maka
tindakan petugas adalah sebagai berikut :
(1)
Minta
kepada orang yang bersangkutan agar menunjukkan tanda pengenal yang
dimilikinya.
(2)
Apabila
identitas yang tercantum dalam Surat Tanda Pengenal tidak sama dengan yang ada
pada Surat Perintah Penangkapan dilakukan penelitian kembali.
(3)
Untuk
mendapatkan kepastian tentang orang yang bersangkutan, perlu diusahakan
mendapatkan keterangan dari penduduk sekitarnya terutama kepala desa/ketua
lingkungan setempat.
(4)
Apabila
orang yang ditangkap ternyata memberikan keterangan yang tidak benar akan
identitasnya agar segera dilakukan penangkapan.
m)
Dalam
hal penangkapan harus dilakukan terhadap orang yang berdiam/bertempat tinggal
didaerah terpencil yang tidak dapat dicapai dalam waktu satu hari, maka
tindakan yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :
(1)
Diterbitkan
2 (dua) macam Surat Perintah yaitu Surat Perintah Penangkapan dan Surat
Perintah Membawa/Menghadapkan Tersangka.
(2)
Penyidik
memerintahkan Penyelidik untuk membawa dan menghadapkan orang yang akan
ditangkap kepada Penyidik berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b angka
4 KUHAP.
(3)
Untuk
kepentingan ini maka kepada Penyelidik diberikan Surat Perintah Tugas, dan
Surat Perintah Membawa/Menghadapkan Tersangka.
(4)
Orang
yang akan ditangkap, dibawa oleh Penyelidik dari tempat tinggal/tempat kediaman
atau ditempat ia berada dengan Surat Perintah Membawa untuk dihadapkan kepada
Penyidik.
(5)
Sesampainya
orang yang akan ditangkap ditempat kedudukan Penyidik/Penyidik Pembantu, maka
dikenalkan Surat perintah Penangkapan untuk kemudian dilakukan pemeriksaan
terhadapnya guna menentukan status orang yang ditangkap itu lebih lanjut.
(6)
Tindakan
lain adalah Penyidik/Penyidik Pembantu, datang sendiri ketempat orang yang akan
ditangkap untuk melakukan penangkapan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
ditempat / lingkungan dimana tersangka berada.
n)
Dalam
melakukan penangkapan, diusahakan agar tersangka tidak meloloskan diri, melakukan
perbuatan lain yang tidak diinginkan seperti bunuh diri atau perbuatan yang
membahayakan keselamatan petugas sendiri.
o)
Apabila
tersangka yang ditangkap berkebangsaan asing, maka sesuai jalur pelaporan, hal
tersebut diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri RI. Guna diteruskan kepada
Perwakilan Negara tersangka dimaksud.
p)
Dalam
hal penangkapan terhadap tersangka/terdakwa dilakukan untuk memenuhi permintaan
dari Kejaksaan atau Hakim, maka Tersangka/Terdakwa berikut berita Acara
Penangkapannya diserahkan kepada yang meminta bantuan penangkapan dengan Berita
Acara Penyerahan Tersangka.
3) Penangkapan
tanpa Surat Perintah Penangkapan :
a)
Setiap
orang yang menemukan tindak pidana dalam keadaan tertangkap tangan, berhak
menangkap tersangka, untuk kemudian segera melaporkan/menyerahkan tersangka
tersebut beserta barang bukti yang ada kepada Kesatuan Polri terdekat.
b)
Apabila
anggota Polri menemukan suatu tindak pidana dalam keadaan tertangkap tangan
maka tindakan yang perlu diambil antara
lain adalah sebagai berikut :
(1)
Menangkap
pelaku dan menyita barang bukti.
(2)
Melarang
orang-orang yang diangap perlu, untuk tidak meninggalkan tempat sebelum
pemeriksaan ditempat kejadian selesai.
(3)
Melaporkan/menyerahkan
tersangka beserta atau tanpa barang bukti kepada Kesatuan Polri (Perwira Siaga
atau lembaga yang sama fungsinya) yang terdekat disertai Berita Acara
tentang tindakan yang telah dilakukan.
c)
Kesatuan
Polri yang menerima penyerahan tersangka
dan barang bukti sebagaimana tersebut point a) dan b) diatas membuat Laporan
Polisi dan memberikan tanda terima laporan.
4) Pelepasan
Tersangka dengan Surat Perintah :
a)
Pelepasan
Tersangka dilakukan dengan pertimbangan :
(1)
Kejahatan
yang dilakukan tersangka tidak terdapat alasan yang kuat untuk ditahan sesuai Pasal
21 (4) KUHAP dan atau peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2)
Tidak
cukup bukti/bukan tindak pidana atau demi hukum.
b)
Setiap
melakukan pelepasan tersangka, harus dibuat Berita Acara dan ditanda tangani
oleh tersangka.
c)
Surat
Perintah Pelepasan Tersangka dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang masing-masing
ditujukan kepada tersangka/keluarga tersangka dan arsip.
5) Penangkapan
atas permintaan Kepolisian Negara anggota ICPO-Interpol.
a)
Bantuan
penangkapan diberikan atas dasar permintaan melalui Interpol dengan dilengkapi
Surat Permintaan Penangkapan yang dikeluarkan oleh Negara peminta.
b)
Masa
berlaku Surat Penangkapan dimaksud harus mempunyai tenggang waktu yang cukup
untuk dilakukan tindakan penangkapan tersebut.
c)
Hal-hal
yang perlu diperhatikan :
(1)
Dalam
pelaksanaan penangkapan maka hak-hak tersangka dan penasehat hukum yang perlu
diperhatikan antara lain sebagai berikut
:
(a)
Guna
kepentingan penyidikan, tersangka atau terdakawa berhak mendapatkan bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum, selama dalam dan pada setiap
tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam UU (Pasal 54 KUHAP)
(b)
Penasehat
Hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau pada semua tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam UU (Pasal 69 KUHAP)
(2)
Melaksanakan
penangkapan terhadap tersangka pimpinan/anggota MPR/DPR, DPD, Gubernur,
Walikota, Bupati, serta DPR Propinsi dan Kota/kabupaten serta Pejabat Aparatur
Pemerintah lainnya, maka tata cara penangkapan disesuaikan dengan ketentuan
yang tercantum dalam UU yang berlaku baginya.
6) Penangkapan
diluar wilayah hukum Penyidik
a)
Dalam
hal tersangka yang ditangkap untuk didengar keterangannya berdiam atau bertempat
tinggal diluar daerah hukum Penyidik yang menjalankan penyidikan, maka
penangkapan terhadapnya dapat dimintakan bantuan kepada Penyidik dimana
tersangka tersebut bertempat tinggal/berada. Namun Penyidik yang akan melakukan
penangkapan harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan.
b)
Dalam
hal penangkapan dilakukan diluar daerah hukum penyidik yang melakukan
penyidikan, maka penangkapan dilakukan oleh Penyidik yang berwenang dengan
dibantu oleh penyidik setempat dan pada waktu pemeriksaan wajib didampingi oleh
Penyidik setempat tersebut.
c)
Penangkapan
terhadap tersangka yang masuk dalam Daftar Percarian Orang (DPO),maka penyidik
harus melakukan hal hal sebagai berikut :
(1)
Pastikan bahwa tersangka yang akan ditangkap merupakan
tersangka yang sudah terdaftar dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
(2)
Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dikeluarkan
mencantumkan pertimbangan,
dasar, identitas
tersangka, uraian
perkara dan pasal yang dilanggar,
surat permintaan bantuan penangkapan ditanda tangani oleh Pejabat Penyidik yang
berwenang.
(3)
Daftar Pencarian Orang (DPO) yang mencantumkan
pertimbangan, dasar, identitas
tersangka, uraian
perkara dan pasal yang dilanggar,
permintaan bantuan penangkapan ditanda tangani oleh Pejabat Penyidik yang
berwenang dijadikan sebagai dasar pertimbangan membuat Surat Perintah
Penangkapan.
(4)
Penyidik yang akan melakukan penangkapan dilengkapi
dengan Surat Perintah Tugas
dan Surat Perintah Penangkapan yang ditanda tangani oleh Pejabat Penyidik
yang berwenang sebagaimana point 8) diatas.
7) Penangkapan terhadap Pimpinan Lembaga
Tinggi Negara.
Dalam hal yang ditangkap
adalah anggota MPR, DPR,
DPD, Gubernur, Bupati /wakil Bupati atau Walikota/wakil walikota, Anggota DPR Provinsi dan
Kabupaten/kota, maka tata cara penangkapan disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang yang berlaku baginya
sebagai berikut:
a)
Penangkapan
terhadap pejabat-pejabat MPR, DPR, DPD, Gubernur, Bupati /wakil
Bupati atau Walikota/wakil walikota,
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden RI. Kepala
Kesatuan/Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik mengajukan permohonan kepada
Kapolri melalui Kabareskrim Polri.
b)
Untuk
penangkapan terhadap Pimpinan/Anggota DPR Provinsi, Kepala kesatuan/Pejabat
yang ditunjuk selaku Penyidik mengajukan permohonan kepada Kapolri melalui
Kabareskrim Polri untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam
Negeri.
c)
Untuk
penangkapan terhadap Pimpinan/Anggota DPRD kabupaten/kota, Kepala
Kesatuan/Pejabat yang ditunjuk selaku Penyidik mengajukan permohonan kepada
Kapolda melalui Direktur Reskrim Polda yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan
tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.
d)
Untuk
Penangkapan terhadap Ketua dan Majelis Hakim, Penyidik mengajukan permohonan
kepada Ketua Mahkamah Agung RI. melalui Kabareskrim Polri untuk mendapatkan persetujuan
tertulis dari Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
e)
Untuk
penangkapan pejabat aparatur pemerintah, Penyidik mempedomani ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku.
f)
Dalam
mengajukan Surat Permohonan tersebut, harus dicantumkan alasan penangkapan dan
dilampiri Laporan Kemajuan dan Resume.
6.
Penutup
a.
Standar
Operasional Prosedur Penangkapan menjadi acuan bagi Penyidik dalam melaksanakan
penyidikan tindak pidana.
b.
Hal-hal
yang belum diatur dalam Standar Operasional Prosedur Penangkapan ini akan
ditentukan kemudian.
c.
Standar
Operasional Prosedur Penangkapan ini, berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Lampung.
d.
Ketentuan
yang belum diatur dalam Standar Operasional Prosedur Penangkapan ini akan
diatur lebih lanjut.
e.
Ketentuan
yang bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur Penangkapan ini,
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar