Hal itu
terungkap dalam putusan uji materi terhadap Pasal 32 Ayat (1) dan Ayat
(2) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, Sidang dipimpin ketua MK Akil Mochtar.
Dalam
pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan mengenai perlunya penetapan
pengadilan akan memberatkan masyarakat. Keberatan itu tidak hanya
dirasakan masyarakat yang tinggal jauh di pelosok, tetapi juga
masyarakat yang tinggal di perkotaan. MK juga mempertimbangkan, proses
di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat sehingga
mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap
kepastian hukum.
“Proses untuk
memperoleh akta kelahiran yang membutuhkan prosedur administrasi dan
waktu yang panjang serta biaya yang lebih banyak dapat merugikan
penduduk. Padahal, akta kelahiran tersebut merupakan dokumen penting
yang diperlukan dalam berbagai keperluan. Oleh karena itu, selain
beretentangan dengan ketentuan pasal 28D Ayat (1) dan (4) UUD 1945,
Pasal 32 Ayat (2) UU No 23/2006 juga bertentangan dengan prinsip
keadilan karena keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang
terabaikan. “Justice delayed, justice denied,” kata Hakim Konstitusi Mari Farida Indrati.
Selain menghapus
ketentuan tentang perlunya penetapan pengadilan, kata Akil, MK juga
memberikan tafsir mengenai perlunya persetujuan kepala instansi
pelaksana. Menurut MK, kata “persetujuan” tersebut haruslah dimaknai
sebagai “keputusan” kepala instansi terkait. Hal itu diperlukan demi
menjamin kepastian hukum bagi warga yang meminta pencatatan akta
kelahiran.
Uji materi
tersebut diajukan Mutholib, warga Surabaya, Jawa Timur, yang memohon
akta kelahiran ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor register
perkara 2194/Pdt/20/PN/Sby. Mutholib kesulitan dalam mengurus pencatatan
kelahiran yang melampaui batas waktu karena proses birokrasi yang
berbelit-belit.
sumber: http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/detail/akta-kelahiran-penetapan-pengadilan-tak-diperlukan-lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar