Salah satu kritik yang mengemuka adalah penerapan hukum
pidana yang mengedepankan sisi formalitas yang cenderung represif serta kurang
mengapresiasi posisi korban maupun pelaku tindak pidana, sehingga terkesan
hukum pidana yang diberlakukan hanya sebagai alat pembalasan belaka, contoh
kasus tindak pidana yang kerap terjadi di masyarakat seperti pencurian ataupun
penganiayaan ringan, dimana pihak korban
maupun pelaku telah sepakat untuk berdamai namun pihak kepolisian tetap saja
meneruskan kasus hingga ke meja hijau.
Ini merupakan sebuah contoh nyata bagaimana hukum pidana diberlakukan sebagai
formalitas tanpa memperhatikan kepentingan korban maupun pelaku.
Kepentingan Korban serta Pelaku
Sebelum mengulas lebih jauh tentang Mediasi Penal dan Restorative Justice, dalam
hal ini ada beberapa pertanyaan mendasar terkait
pidana dan pemidanaan, pertama apakah yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan?
apakah untuk menciptakan efek jera, menciptakan keteraturan dan keamanan,
ataukah hanya untuk tegaknya aturan hukum semata.
Sistem pemidanaan yang tengah berlangsung saat ini seakan
tidak lagi memberikan efek jera kepada pelaku, ini dapat dilihat dari semakin
meningkatnya jumlah tahanan di LP, hingga terjadi over capacity, LP yang berkapasitas 2000 orang kini harus menampung
beban hingga 3 kali lipat, tak jarang penghuni LP adalah Residivis yang telah
mengulangi kejahatan yang sama berulangkali. Sehingga muncul seloroh bahwa LP
tidak lagi sebagai tempat me-masyarakat-kan namun lebih mirip sebagai Academy of Crime, tempat dimana
terpidana “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindak pidana.
Pertanyaan
kedua, bagaimana dengan kepentingan korban? Hukum Pidana
Indonesia masih belum sepenuhnya berorientasi terhadap korban, contoh
sederhananya adalah apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukuman
pidana, maka apakah kepentingan dan
kerugian korban juga telah terpenuhi? Barang tentu hal tersebut tidak otomatis
mengakomodir kepentingan korban terutama terkait kompensasi, ganti rugi, maupun
restitusi.
Restorative Justice
dan Mediasi Penal
Restorative justice adalah
sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan Sistem Peradilan Pidana
dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana
yang ada pada saat ini. Marian Liebmann (2007, 26-28) memberikan beberapa
rumusan prinsip dasar restorative justice
sebagai berikut :
1.
Memperioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
2.
Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan;
3.
Dialog antara korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4.
Ada upaya untuk meletakan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5.
Pelaku pelanggaran harus sadar tentang
bagaimana tidak mengulangi lagi kejahatan tersebut dimasa datang;
6.
Masyarakat turut membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku.
Sedangkan Mediasi Penal merupakan proses Restorative
Justice dalam hukum pidana yang dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku
dan korban dengan tujuan untuk mereparasi dimana pelaku membetulkan kembali apa
yang telah dirusak, konfrensi pelaku korban yang mempertemukan keluarga dari
kedua belah pihak serta tokoh masyarakat.
Dasar Hukum
Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia
Mediasi Penal merupakan
salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative
Dispute Resolution) yang lebih
populer di lingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat
diterapkan di lingkungan hukum pidana. Ada beberapa
aturan yang dapat menjadi dasar hukum pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia (Barda Nawawi Arief, 2007, 37-38) antara lain :
a.
Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan
Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR);
Surat ini menjadi
rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302,
315, 352, 373, 379, 384, 407, 482, surat
ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan
dan penyeledikan. Beberapa point penekanan dalam Surat Kepolisian tersebut
antara lain :
- Mengupayakan penanganan kasus pidana yang
mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui ADR;
- Penyelesaian kasus melalui ADR harus
disepakati oleh pihak-pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai
kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku
sacara profesional dan proporsional;
- Penyelesaian perkara melalui ADR harus
berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar;
- Penyelesaian perkara melalui ADR harus
menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi azas keadilan;
- Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui
ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
b.
Delik yang dilakukan berupa
”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak
menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda
maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal
dengan istilah ”afkoop” atau
”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
c.
Tindak pidana dilakukan oleh anak di
bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang
dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18
tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak
tersebut kepada orang tua, wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
d.
Undang-Undang Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan
kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus
pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96).
Beberapa
instrumen hukum diatas dapat menjadi
rujukan dalam membantu kerja-kerja paralegal dalam menyelesaikan perkara pidana
terutama sekali kasus-kasus Tindak Pidana Ringan.
KANTOR HUKUM BALAKRAMA
JL.Kijang 1/12A
SEMARANG
www.balakrama.blogspot.com
balakrama6999@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar