A. Umum
Gugatan dalam hukum
perdata terdiri dari Gugatan Permohonan (voluntair) dan Gugatan
Kontentiosa. Gugatan permohonan menurut Mahkamah Agung adalah permasalahan
perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau
kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Ciri-ciri dari suatu
permohonan sebagai berikut:
1. masalah yang diajukan bersifat kepentingan
sepihak semata (for the benefit of one party only).
2.
permohonan tidak menyangkut sengketa dengan pihak lain;
Sedangkan Gugatan
Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung permasalahan dengan orang
lain yang mengandung sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between
contending parties) yang diajukan kepada ketua pengadilan untuk diperiksa
dan diputus.
Gugatan Kontentiosa kita
temukan dalam, pertama di Pasal
118 ayat (1), 119 dan 120 HIR dengan menyebut istilah ”Gugatan Perdata dan
Gugatan”; kedua di Pasal 1 RV menyebut Gugatan Kontentiosa dengan
istilah ”Gugatan” yang berbunyi ”tiap-tiap proses perkara
perdata....,dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan....”. Menurut Prof.
Sudikno Mertokusumo, Gugatan Kontentiosa adalah adalah tuntutan perdata (burgerlijke
vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Mahkamah
Agung menyebut Gugatan Kontentiosa dalam putusannya yang berbunyi ”selama
proses perkara belum diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut
gugatan dengan persetujuan tergugat”.
B. Syarat-syarat Gugatan
C.1. Syarat Formil
Syarat formal dari suatu gugatan,
dapat dirinci sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
dalam surat gugatan biasanya
disebutkan secara tegas tempat dimana gugatan itu dibuat. Misalnya apakah
gugatan dibuat di tempat domicili penggugat atau di tempat kuasanya.
Selanjutnya disebutkan tanggal, bulan dan tahun pembuatan gugatan itu. Tanggal
yang termuat pada kanan atas surat gugatan itu hendaklah sama dengan tanggal
yang dimuat pada materai surat gugatan. Apabila terdapat perbedaan tanggal,
maka tanggal pada materai yang dianggap benar.
b. Materai
dalam prakteknya, surat gugatan
wajib diberi materai secukupnya. Suatu surat gugatan yang tidak dideri materai
bukan berarti batal, tetapi akan dikembalikan untuk diberi materai. Pada
materai itu kemudian diberi tanggal, bulan dan tahun pembuatan atau
didaftarkannya gugatan itu di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.
c. Tanda Tangan
Tanda tangan (handtekening)
dalam Surat Gugatan merupakan syarat formil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal
118 ayat (1) HIR, bahwa bentuk surat permohonan ditandatangani penggugat atau
kuasanya. Menurut Pasal St. 1919-776, Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat
membubuhkan Cap Jempol ─ berupa ibu jari tangan ─ di atas Surat Gugatan sebagai
pengganti tanda tangan. Surat Gugatan yang dibubuhkan Cap Jempol selanjutnya
dilegalisir di pejabat yang berwenang ─
misalnya Camat, Notaris, Panitera ─, namun bukan hal yang ”Imperatif”
mengakibatkan (rechts gevolg) gugatan menjadi cacat hukum secara formil,
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 769 K/Sip/1976 yang
berbunyi ”....cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat
gugatan batal demi hukum (van rechtswege nietig), tetapi cukup diperbaiki
dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisir”;
B. 1. Syarat Materiil
a. Identitas Para Pihak
dalam suatu surat gugatan
haruslah jelas diuraikan mengenai identitas Penggugat/Para Penggugat atau tergugat/para
tergugat.
Identitas itu umumnya menyangkut
:
1). Nama lengkap;
2). Tempat Tanggal Lahir/ Umur;
3). Pekerjaan;
4). Alamat atau domicili
Dalah hal penggugat atau tergugat
adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas disebutkan dan siapa yang
berhak mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau ada
kalanya kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang
dari badan hukum itu, maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas
badan hukum itu.
Penyebutan identitas para pihak
dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak (absolute)
keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada
gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah
untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
b. Dasar-dasar gugatan (Fundamentum Petendi/Posita)
Dasar gugatan (grondslag van
de lis ) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib
dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUH
Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang mendalilkan
suatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain,
diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Mengenai Dasar Gugatan,
muncul dua teori: Pertama, Substantierings Theori. Teori ini mengajarkan
bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi
dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului
peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut; dan Kedua,
Individualisering Theori. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa hukum yang
dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding)
yang menjadi dasar gugatan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah
terjadinya hubungan hukum, karena itu dapat diajukan berikutnya dalam proses
pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 547 K/Sep/1971,
yang menegaskan bahwa, ”....perumusan kejadian materi secara singkat sudah
memenuhi syarat....”.
Di dalam praktek posita itu
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Obyek Perkara
2). Fakta-Fakta Hukum
3). Kualifikasi Perbuatan
Tergugat
4). Uraian Kerugian
5). Hubungan Posita Dengan
Petitum.
c. Petitum
Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg
disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat
agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di
dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara jelas,
singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan
tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. Disamping itu
petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh posita. Posita
yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya
tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya
tuntutan ditolak oleh hakim.
Dalam praktek peradilan, petitum
dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1). Petitum Primer;
Petitum ini merupakan tuntutan
yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang
dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang
diminta atau dituntut.
2). Petitum Tambahan;
Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer.
Biasanya dapat berupa:
· Tuntutan agar tergugat membayar
biaya perkara;
· Tuntutan uitvoerbaar bij
voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
· Tuntutan provisionil,
yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara
yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
· Tuntutan agar tergugat
dihukum untuk membayar bunga muratoir;
· Tuntutan agar tergugat
dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom);
3). Petitum Subsider;
Diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar